Sabtu, 03 September 2011

MBS

Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah 

MBS memiliki banyak pengertian, bergantung dari sudut pandang orang yang mengartikannya. Nurkholis (2003:1), misalnya, menjelaskan bahwa  Manajemen Berbasis Sekolah  terdiri dari tiga kata, yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah. Pertama, istilah manajemen memiliki banyak arti.  Secara umum manajemen dapat diartikan sebagai proses mengelola sumber daya secara efektif untuk mencapai tujuan. Ditinjau dari aspek pendidikan,  manajemen pendidikan diartikan sebagaisegala sesuatu yang berkenaan dengan  pengelolaan proses pendidikan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan,  baik tujuan jangka pendek, menengah maupun tujuan jangka panjang. Kedua, kata berbasis mempunyai kata dasar basis
atau  dasar.  Ketiga, kata  sekolah merujuk pada lembaga tempat berlangsungnya proses belajar mengajar. Bertolak dari arti ketiga istilah itu, maka istilah Manajemen Berbasis Sekolah dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berkenaan denganpengelolaan sumber daya yang berdasar  pada sekolah itu sendiri dalam proses pembelajaran untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan.  Kalau Anda perhatikan makna  berdasar pada sekolah itu sendiri adalah pengelolaan sumber daya yang dimiliki sekolah serta dikelola dan dilakukan oleh sekolah itu sendiri. Seperti yang telah  diuraikan dalam pendahuluan, makna ini tentunya berbeda dari makna manajemen pendidikan sebelumnya, yaitu bahwasemua diatur dari pemerintah pusat (sentralistik). Dengan demikian, Anda dapat melihat bahwa telah terjadi perubahan paradigma manajemen pendidikan di sekolah, yang semula diatur dan dikendalikan oleh  pusat dan birokrasinya (sentralistik), menjadi pengelolaan yang berdasar pada potensi atau kemampuan sekolah itu sendiri (desentralistik). Dalam konteks desentralisasi, sekolah mempunyai kewenanganpenuh dalam mengatur pendidikan dan pembelajaran, merencanakan, mengorganisasikan, mengawasi, mempertanggungjawabkan, serta memimpin sumber daya yang ada untuk mengoptimalkan pelaksanaan pembelajaran sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. 
Seperti halnya Nurkholis, Slamet PH (2001) mendefinisikan MBS dengan bertolak dari kata  manajemen, berbasis, dan sekolah. Menurut Slamet, manajemenberarti koordinasi dan penyerasian sumber daya melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan atau untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Berbasis artinya “berdasarkan pada” atau “berfokuskan pada”. Sedangkan  sekolah merupakanorganisasi terbawah dalam jajaran Departemen Pendidikan Nasional  (Depdiknas) yang bertugas memberikan “bekal kemampuan dasar” kepada peserta didik atas dasar ketentuan-ketentuan yang bersifat legalistik (makro, meso, mikro) dan profesionalistik (kualifikasi, untuk sumber daya manusia).
Atas dasar itu pula, Slamet menyimpulkan bahwa MBS adalah pengkoordi-nasian dan penyerasian sumber daya yang dilakukan secara otonom (mandiri) oleh sekolah melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan sekolah dalam kerangka pendidikan nasional, dengan melibatkan semua kelompok kepentingan
yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan(partisipatif). Kelompok kepentingan tersebut meliputi: kepala sekolah dan wakil-wakilnya, guru, siswa, konselor, tenaga administratif,  orangtua siswa, tokoh masyarakat, para profesional, wakil pemerintahan, wakil organisasi pendidikan.
Wohlsteeter, Priscilla & Mohrman (1996) menyatakan bahwa MBS berarti pendekatan politis untuk mendesain ulang organisasi sekolah dengan memberikan kewenangan dan kekuasaan kepada partisipan sekolah di tingkat lokal guna memajukan sekolahnya. Partisipan lokal itu terdiri atas: kepala sekolah, guru,
konselor, pengembang kurikulum, administrator, orang tua siswa, masyarakat sekitar, dan siswa. Sedangkan Myers dan Stonehill (1993) mengemukakan bahwa MBSmerupakan strategi untuk memperbaiki pendidikan dengan mentansfer otoritas pengambilan keputusan secara signifikan dari pemerintah pusat dan daerah ke
sekolah-sekolah secara individual. Penerapan MBS memberikan kewenangan kepada kepala sekolah, guru, siswa, orang tua, dan msyarakat untuk memiliki kontrol yang lebih besar dalam proses pendidikan dan memberikan mereka tanggung jawab untukmengambil keputusan tentang anggaran, personil, dan kurikulum. Keterlibatan pemangku kepentingan (stakeholder) lokal dalam pengambilan keputusan akan dapat
meningkatkan lingkungan belajar yang efektif bagi siswa. 
Sementara itu, Ogawa & Kranz (1990:290) memandang MBS secara konseptual sebagai perubahan formal dari struktur tata pelayanan pendidikan (governance) yaitu pada distribusi kewenangan    pengambilan keputusan sebagai bentuk desentralisasi yang mengidentifikasi sekolah sebagai unit utama dari
peningkatan dan kepercayaan, dan juga  sebagai alat utama untuk meningkatkan partisipasi dan dukungan. Beberapa kewenangan formal  adalah untuk membuat keputusan tentang sumber-sumber pendanaan (budget), ketenagaan, dan program yang didelegasikan dan didistribusikan kepada orang-orang antarberbagai level. 
Beberapa struktur formal seperti kepala sekolah, guru, orang tua, dan kadang-kadang siswa dan masyarakat sekitarnya yang dikondisikan sedemikian rupa sehingga dapatsecara langsung dilibatkan dalam pembuatan keputusan sekolah secara luas.  Senada dengan pengertian Ogawa & Kranz, Kubick & Katheleen (1988:2)
menyatakan bahwa MBS merupakan suatu sistem administrasi di mana sekolah merupakan satuan yang utama dalam pengambilan keputusan bidang pendidikan.
Tanggung jawab untuk keputusan tentang  anggaran, personil, dan kurikulum ditempatkan di tingkatan sekolah dengan memberikan  kontrol proses pendidikan kepada kepala sekolah, guru, siswa, dan orang tua. 
Dalam buku  Petunjuk Program MBS, kerjasama Pemerintah Indonesia, UNESCO dan Unicef, dinyatakan bahwa MBS dapat dipandang sebagai suatupendekatan pengelolaan sekolah dalam rangka desentralisasi pendidikan yang memberikan kewenangan yang lebih luas kepada sekolah untuk mengambil keputusan mengenai pengelolaan sumber daya pendidikan sekolah (manusia, keuangan, material, metode, teknologi, wewenang dan waktu) yang didukungdengan partisipasi yang tinggi dari warga sekolah, orang tua, dan masyarakat, serta sesuai dengan kerangka kebijakan pendidikan nasional dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan (Direktorat TK & SD, 2005: 6). Dalam bentuk manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS), MBS dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan, orang tua siswa dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional (Depdiknas, 2002:5).
Perihal MBS ini, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 51, ayat (1) menyatakan, “Pengelolaan satuan pendidikan anak usiadini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah.”
Selanjutnya, penjelasan pasal 51, ayat (1) menerangkan bahwa, “Yang dimaksud dengan manajemen berbasis sekolah/madrasah adalah bentuk otonomi manajemenpendidikan pada satuan pendidikan, yang dalam hal ini kepala sekolah/ madrasah dan guru dibantu oleh komite sekolah/madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan”.  Otonomi memang bermakna pemilikan kewenangan mengatur semua masalah secara mandiri. Namun, dalam konteks MBS di Indonesia, pelaksanaannya masih terikat dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik secara nasional, maupun daerah. Artinya otonomi yang dimaksudkan di dalam penjelasan pasal 51 ayat (1) UU Sisdiknas No. 23 Tahun 2003 merupakan bentuk desentralisasi yang bersifat relatif dan mengacu kepada perundang-undangan dan peraturan yang berlaku baik di tingkat nasional maupun di daerah. Sungguh pun demikian, dengan MBS, tanggung jawab sekolah menjadi lebih besar. Sekolah dituntut untuk menunjukkan hasil kerjanya sehubungan  dengan kewenangan lebih besar yang diperolehnya sebagai bentuk  akuntabilitas, baik kepada warga sekolah maupun pemerintah. 
           Selanjutnya, peran komite sekolah – yang dalam hal ini merupakan refleksi dari pemangku kepentingan pendidikan kepentingan  (orang tua, masyarakat, pengguna lulusan, guru-kepala sekolah, dan penyelenggara pendidikan) --  terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung di dalam pengelolaan pendidikan disekolah. Artinya, dengan MBS tujuan pendidikan yang diharapkan oleh pemangku dapat dipenuhi.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar