Sabtu, 03 September 2011

Bentuk layanan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus


Bentuk Layanan 
  Menurut Hallahan dan Kauffman (1991)  bentuk penyelenggaraan pendidikan   bagi anak berkebutuhan khusus  ada berbagai pilihan, yaitu:
a.  Reguler Class Only (Kelas biasa dengan guru biasa)
b.  Reguler Class with Consultation (Kelas biasa  dengan konsultan guru PLB)
c.  Itinerant Teacher (Kelas biasa  dengan guru kunjung)
d.  Resource Teacher (Guru sumber, yaitu kelas biasa dengan guru biasa, namun dalam beberapa kesempatan anak berada di ruang sumber dengan guru sumber)
e.  Pusat Diagnostik-Prescriptif
f.  Hospital or Homebound Instruction (Pendidikan di rumah atau di rumah sakit, yakni  kondisi anak yang memungkinkan belum  masuk ke sekolah biasa).
g.  Self-contained Class  (Kelas khusus  di sekolah biasa  bersama guru PLB)
h.  Special Day School  (Sekolah luar biasa tanpa asrama)
i.  Residential School (Sekolah luar biasa berasrama)
               Samuel A. Kirk (1986)  membuat  gradasi layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus bergradasi dari  model segregasi  ke model mainstreaming  bentuk-bentuk layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan  khusus dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok besar, yaitu:
a.  Bentuk Layanan  Pendidikan Segregrasi
Sistem layanan pendidikan segregasi adalah  sistem pendidikan yang terpisah dari sistem pendidikan anak normal. Pendidikan anak berkebutuhan khusus melalui sistem segregasi maksudnya adalah penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan  secara khusus, dan terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untuk anak normal. Dengan kata  lain anak berkebutuhan khusus  diberikan layanan pendidikan pada lembaga pendidikan khusus  untuk anak berkebutuhan khusus, seperti Sekolah Luar Biasa  atau Sekolah Dasar Luar Biasa, Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa, Sekolah Menangah Atas Luar Biasa. Sistem pendidikan segregasi merupakan sistem pendidikan  yang paling tua. Pada  awal pelaksanaan, sistem  ini diselenggarakan  karena  adanya kekhawatiran  atau keraguan  terhadap kemampuan  anak berkebutuhan khusus untuk  belajar bersama dengan  anak normal. Selain itu, adanya  kelainan  fungsi tertentu pada  anak berkebutuhan khusus  memerlukan  layanan  pendidikan dengan  menggunakan metode yang sesuai  dengan kebutuhan khusus mereka.
Misalnya, untuk anak tunanetra, mereka memerlukan layanan khusus  berupa  braille, orientasi  mobilitas. Anak tunarungu  memerlukan komunikasi total, binapersepsi bunyi; anak tunadaksa  memerlukan layanan mobilisasi dan aksesibilitas, dan layanan terapi untuk mendukung fungsi fisiknya. Ada  empat bentuk penyelenggaraan  pendidikan dengan sistem segregasi, yaitu:
1)  Sekolah Luar Biasa (SLB)
Bentuk  Sekolah Luar Biasa merupakan bentuk sekolah yang paling tua. Bentuk SLB  merupakan bentuk unit pendidikan. Artinya, penyelenggaraan  sekolah mulai dari tingkat persiapan  sampai dengan tingkat  lanjutan 
diselenggarakan dalam satu unit  sekolah  dengan satu kepala sekolah. Pada  awalnya  penyelenggaraan  sekolah dalam bentuk unit ini  berkembang  sesuai dengan kelainan yang  ada (satu kelainan saja), sehingga  ada SLB untuk tunanetra (SLB-A), SLB untuk    tunarungu (SLB-B), SLB untuk tunagrahita (SLB-C), SLB untuk tunadaksa (SLB-D), dan SLB untuk tunalaras (SLB-E). Di setiap SLB  tersebut  ada  tingkat persiapan, tingkat dasar, dan tingkat lanjut. Sistem pengajarannya  lebih mengarah ke sistem individualisasi.
                 Selain,  ada SLB yang  hanya  mendidik satu kelainan saja, ada pula SLB yang mendidik lebih dari satu kelainan, sehingga  muncul SLB-BC yaitu SLB  untuk anak tunarungu dan tunagrahita; SLB-ABCD, yaitu SLB untuk  anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan  tunadaksa. Hal ini terjadi karena  jumlah  anak yang ada di unit tersebut sedikit dan    fasilitas sekolah terbatas.
2) Sekolah Luar Biasa  Berasrama
Sekolah Luar Biasa Berasrama  merupakan bentuk  sekolah luar biasa  yang dilengkapi dengan fasilitas  asrama. Peserta didik SLB berasrama  tinggal diasrama. Pengelolaan  asrama  menjadi satu kesatuan dengan pengelolaan sekolah, sehingga  di SLB  tersebut  ada tingkat persiapan, tingkat dasar, dan tingkat lanjut, serta unit asrama. Bentuk satuan pendidikannyapun juga  sama dengan bentuk SLB di atas, sehingga  ada SLB-A untuk anak tunanetra, SLB-
B untuk anak tunarungu, SLB-C untuk anak tunagrahita, SLB-D untuk anak tunadaksa, dan SLB-E untuk anak tunalaras, serta  SLB-AB  untuk anak tunanetra dan tunarungu.
Pada SLB berasrama, terdapat kesinambungan program pembelajaran antara  yang ada di sekolah dengan di asrama, sehingga  asrama  merupakan tempat pembinaan  setelah anak di sekolah. Selain itu, SLB berasrama  merupakan pilihan sekolah yang sesuai  bagi peserta  didik yang  berasal dari luar daerah, karena mereka terbatas fasilitas antar jemput.
3) Kelas jauh/Kelas Kunjung
Kelas jauh atau kelas kunjung adalah lembaga yang disediakan untuk memberi pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang tinggal jauh dari SLB atau SDLB. Pengelenggaraan kelasjauh/kelas kunjung
merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam rangka menuntaskan wajib belajar serta pemerataan kesempatan belajar. 
Anak berkebutuhan khusus tersebar di seluruh  pelosok tanah air, sedangkan sekolah-sekolah yang khusus mendidik mereka  masih sangat terbatas di kota/kabupaten. Oleh karena itu, dengan  adanya kelas jauh/kelas kunjung ini diharapkan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus semakin luas. Dalam penyelenggaraan kelas jauh/kelas kunjung menjadi tanggung jawab SLB terdekatnya.  Tenaga guru yang bertugas  di kelas tersebut berasal dari guru SLB-SLB di dekatnya. Mereka  berfungsi sebagai guru kunjung
(itenerant teacher). Kegiatan administrasinya  dilaksanakan di SLB terdekat tersebut.
4) Sekolah Dasar Luar  Biasa
Dalam rangka menuntaskan kesempatan  belajar bagi anak berkebutuhan khusus, pemerintah mulai Pelita II  menyelenggarakan Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB). Di SDLB  merupakan unit  sekolah yang terdiri dari berbagai kelainan yang dididik  dalam satu  atap. Dalam SDLB  terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan tunadaksa.  Tenaga kependidikan di SDLB  terdiri  dari kepala sekolah, guru untuk anak
tunanetra, guru untuk anak tunarungu, guru untuk anak tunagrahita, guru untuk anak tunadaksa, guru agama,  dan guru olahraga. Selain tenaga kependidikan, di SDLB dilengkapai dengan tenaga ahli  yang berkaitan
dengan kelainan mereka antara lain dokter umum, dokter spesialis, fisiotherapis, psikolog, speech therapist, audiolog. Selain itu ada  tenaga  administrasi  dan penjaga sekolah. Kurikulum yang digunakan di SDLB adalah kurikulum  yang digunakan di SLB untuk tingkat dasar  yang disesuikan  dengan kekhususannya. Kegiatan belajar  dilakukan  secara individual, kelompok, dan klasikal sesuai dengan ketunaan masing-masing. Pendekatan yang dipakai  juga lebih ke pendekatan individualisasi. Selain kegiatan pembelajaran, dalam rangka rehabilitasi di SDLB  juga diselenggarakan  pelayanan khusus sesuai dengan ketunaan anak.
Anak tunanetra  memperoleh latihan  menulis dan membaca braille dan orientasi mobilitas; anak tunarungu memperoleh latihan membaca ujaran, komunikasi total, bina persepsi  bunyi dan irama; anak tudagrahita
memperoleh layanan mengurus diri sendiri; dan anak tunadaksa memperoleh layanan fisioterapi dan latihan koordinasi motorik. Lama pendidikan di SDLB  sama  dengan lama pendidikan di SLB konvensional untuk tingka dasar, yaitu   anak tunanetra,  tunagrahita, dan tunadaksa selama  6 tahun, dan untuk anak tunarungu 8 tahun. Sejalan dengan perbaikan sistem perundangan di RI, yaitu UU RI No. 2 tahun 1989 dan  PP No. 72 tahun 1991, dalam pasal 4 PP No. 72 tahun 1991 satuan pendidikan luar biasa  terdiri  dari:
a) Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) dengan lama pendidikan  minimal 6 tahun
b) Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa (SLTPLB) minimal 3  tahun
c) Sekolah Menengah Luar Biasa (SMLB) minimal 3 tahun.
 
Selain itu, pada pasal 6 PP No. 72 tahun 1991  juga  dimungkinkan pengelenggaraan Taman Kanak-kanak Luar Biasa (TKLB)  dengan lama pendidikan satu sampai tiga tahun.    

b.  Bentuk Layanan  Pendidikan Terpadu/Integrasi
Bentuk layanan pendidikan terpadu/integrasi adalah sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk  belajar bersama-sama  dengan anak biasa (normal)  di sekolah umum. Dengan demikian, melalui sistem integrasi anak berkebutuhan khusus bersama-sama dengan anak
normal  belajar dalam satu atap. Sistem pendidikan integrasi disebut juga  sistem pendidikan terpadu, yaitu  sistem pendidikan yang membawa anak berkebutuhan khusus kepada suasana keterpaduan dengan anak normal. Keterpaduan tersebut  dapat bersifat menyeluruh, sebagaian, atau keterpaduan dalam rangka sosialisasi.
Pada sistem keterpaduan secara penuh  dan sebagaian, jumlah  anak berkebutuhan khusus dalam satu kelas maksimal 10 % dari jumlah siswa keseluruhan. Selain itu dalam satu kelas  hanya  ada satu jenis  kelainan. Hal ini untuk menjaga  agar beban guru kelas tidak terlalu berat, dibanding jika  guru harus melayani berbagai macam kelainan. Untuk membantu kesulitan yang dialami oleh  anak berkebutuhan khusus, di sekolah terpadu disediakan Guru Pembimbing Khusus (GPK). GPK  dapat berfungi  sebagai konsultan bagi guru kelas, kepala sekolah, atau  anak berkebutuhan khusus itu sendiri. Selain itu, GPK  juga  berfungsi sebagai pembimbing di ruang bimbingan khusus atau guru kelas  pada kelas khusus. Ada tiga  bentuk keterpaduan  dalam layanan pendidikan  bagi anak berkebutuhan khusus  menurut Depdiknas  (1986). Ketiga bentuk tersebut adalah:
1)  Bentuk Kelas Biasa
Dalam bentuk keterpaduan ini anak berkebutuhan khusus  belajar di kelas biasa secara penuh dengan menggunakan kurikulum  biasa. Oleh karena itu sangat diharapkan adanya  pelayanan dan bantuan guru kelas atau guru bidang studi  semaksimal mungkin  dengan memperhatikan petunjuk-petunjuk khusus dalam melaksanakan  kegiatan belajar-mengajar di kelas biasa. Bentuk keterpaduan ini  sering  juga disebut   keterpaduan penuh. Dalam keterpaduan ini guru pembimbing khusus  hanya berfungsi sebagai  konsultan  bagi kepala sekolah, guru kelas/guru bidang studi, atau orangtua anak berkebutuhan khusus. Seagai konsultasn, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai penasehat  mengenai kurikulum, maupun permasalahan 
dalam mengajar anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu perlu disediakan ruang  konsultasi  untuk guru pembimbing khusus. Pendekatan, metode, cara penilaian  yang digunakan pada kelas biasa ini  tidak berbeda  dengan  yang digunakan pada  sekolah  umum. Tetapi  untuk beberapa mata pelajaran  yang disesuaikan dengan  ketunaan anak. Misalnya,  anak tunanetra untuk pelajaran menggambar, matematika, menulis, membaca perlu  disesuaikan dengan kondisi  anak. Untuk anak tunarungu mata pelajaran kesenian, bahasa asing/bahasa Indonesia (lisan)  perlu disesuaikan  dengan kemampuan  wicara anak.  
2)  Kelas Biasa dengan Ruang Bimbingan Khusus
Pada keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus  belajar di kelas biasa dengan menggunakan  kurikulum biasa serta  mengikuti  pelayanan khusus untuk mata pelajaran tertentu yang  tidak  dapat diikuti oleh anak berkebutuhan khusus bersama dengan   anak normal.  Pelayanan khusus  tersebut diberikan  di ruang bimbingan khusus oleh guru pembimbing khusus (GPK), dengan menggunakan pendekatan  individu dan metode  peragaan yang sesuai. Untuk keperluan tersebut, di ruang  bimbingan khusus dilengkapi  dengan peralatan  khusus  untuk memberikan  latihan dan bimbingan khusus. Misalnya  untuk  anak tunanetra, di ruang bimbingan khusus  disediakan  alat tulis braille, peralatan orientasi mobilitas. Keterpaduan  pada tingkat ini  sering disebut juga  keterpaduan sebagian.
3)  Bentuk Kelas Khusus
Dalam  keterpaduan ini anak berkebutuhan khusus mengikuti pendidikan  sama  dengan kurikulum di SLB secara penuh di kelas khusus pada sekolah umum  yang melaksanakan program pendidikan terpadu. Keterpaduan ini  disebut juga keterpaduan  lokal/bangunan atau keterpaduan yang bersifat
sosialisasi. Pada tingkat keterpaduan ini, guru pembimbing khusus  berfungsi sebagai  pelaksana program  di kelas khusus. Pendekatan, metode, dan cara penilaian   yang digunakan  adalah  pendekatan, metode, dan cara  penilaian   yang biasa digunakan di SLB. Keterpaduan  pada tingkat ini  hanya  bersifat  fisik dan sosial, artinya  anak berkebutuhan khusus dapat dipadukan  untk kegiatan  yang bersifat  non akademik, seperti olahraga, keterampilan, juga sosialisasi  pada waktu jam-jam istirahat atau acara lain yang diadakan oleh sekolah.

1 komentar: