Minggu, 04 September 2011

Tugas Guru

1. Tugas Mendidik
  Supaya tugas  mendidik itu dapat  dilaksanakan dengan  baik, Anda harus paham tentang konsep mendidik terlebih dahulu. Mendidik adalah memberi tuntunan kepada manusia yang belum dewasa oleh manusia yang telah sewasa dalam pertumbuhan dan perkembangannya sampai tercapainya kedewasaan dalam arti rohaniah dan jasmaniah. Yng dimaksud dewasa disi adalah anak didik itu sudah mampu menyadari dirinya, berdiri sendiri dan bertanggung jawab.
  Sebagai guru, Anda bertindak  sebagai penuntun  peserta  didik SD dalam pertumbuhan dan perkembangannya sampai ia menamatkan pendidikan SD. Tugas mendidik mengarah pada pembentukan sikap dan nilai-nilai, sehingga peserta didik berperilaku sesuai dengan norma sekolah (tata tertib), norma masyarakat (adat istiadat), norma negara (pancasila) dan norma Tuhan (agama).
  Untuk dapat melaksanakan tugas ini diperlukan sejumlah alat pendidikan ,
yaitu :
a. Sugesti
Sugerti adalah pengaruh terhadap hidup kejiwaan seseorang sehingga pikiran dan perasaan terkalahkan atau tidak berdaya. Guru dapat menggunakan sugesti agar anak berbuat baik. Sugerti ada yang bersifat positif (memberi semangat), ada yang bersifat negatif (melemahkan, menentang dan merintangi). Kepada peserta didik yang lemah, loyo, kacau perlu diberi sugesti positif dan kepada peserta didik yang berbuat tidak baik, diberi sugerti negatif.
b. Kebiasaan
Kebiasaan adalah perbuatan yang diulang - ulang sehingga berlaku secara otomatis, yang kadang-kadang masih disertai pemikiran. Banyak perilaku yang terbentuk melalui pembiasaan, misalnya kebiasaan-kebiasaan :
1.  Berdoa sebelum mulai pelajaran.
2.  Meminta ijin guru jika keluar kelas saat pelajara berlangsung.
3.  Duduk tidak membungkuk.
4.  Membersihkan ruang kelas sebelum pelajaran dimulai.
5.  Memberi salam pada guru.
6.  Memberikan sesuatu dengan tangan kanan.
7.  Membuang sampah di tempat sampah.

c. Teladan
Maksudnya menunjukkan pada peserta didik hal-hal yang patut dan perlu dilakukan sehingga peserta didik meniru apa yang dilakuka guru. Teladanmerupakan alat mendidik yang penting karena anak lebih mudah meniru dari pada menerima penjelasan penjelasan verbal.
d. Hadiah (pengutan)
Maksudnya agar dengan hadiah itu pesertadidik menjadi gembira sehingga terdorong untuk berbuat baik selalu. Hadiah tu dapat berupa pujian baik verbal maupun non verbal, berupa kegiatan yang menyenangkan, kebebasan, dapat juga berupa benda seperti buku, pensil boll poin dan lain lain.
e. Hukuman
Memberikan suatu penderitaan kepada peserta didik agar ai insyaf akan perbuatan yang salah sehingga tidak berbuat salah lagi. Dalam memberikan hukuman, perlu dihindari hukuman badan. Hukuman yang diberikan guru hendaknya bersifat pedagogis.
f. Pengawasan
Memeriksa apakah peraturan – peraturan ditaati peserta didik atau tidak dan menjaga agar peserta didik tidak melakukan pelanggaran-pelanggaran.
g. Permainan
Maksudnya memberikan kegembiraan dan kesibukan kepada peserta didik  agar terhindar dari melakukan perbuatan yang tidak baik.
h. Pekerjaan
Memberikan tugas atau sesuatu kesibukan kepada peserta didik sehingga tercegah dari kesempatan melakukan hal yang tidak baik
i. Perintah dan Larangan
Perintah, mengenai apa - apa yang harus  dikerjakan, larangan mengenai apa-apa yang tidak boleh dikerjakan.

2. Tugas Mengajar
  Bagi guru, tugas mengajar merupakan tugas yang paling dominan. Sebagian besar waktu disekolah digunakan untuk menyelenggarakan pembelajaran. Guru mewariskan pengetahuan, sikap dan keterampilan kepada peserta didik. Perbuatan mengajar mengarah pada pengembangan aspek intelektual (kognitif) peserta didik. Pelaksanaan tugas ini diawali dengan perancangan berbagai program. Biasanya dimulai dari penyusunan program tahunan, dilanjutkan dengan perancangan program semester, penyusunan silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Bagaiman program-program itu dirancang, tidak dibicarakan disini, karena Anda  telah mempelajari pada mata kuliah
  Setelah  program-program tersebut selesai di rancang, barulah guru mulai melaksanakan program pembelajaran. Guru berinteraksi dengan peserta didik melalui pengkajian materi pelajaran, dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran, yaitu dikuasainya kompetensi-kompetensi tertentu oleh peserta
didik.
 
3. Tugas Melatih
 Tugas melatih, mengarah pada penguasaan keterampilan/skill, baik keterampilan fisik maupun keterampilan intelektual. Dalam melatih, guru memberikan stimulus(S) supaya muncul respon (R) dari peserta didik. Latihannya berpola S – R yang dilakukan berulang ulang sampai peserta didik menguasai keterampilan yang dilatihkan guru. Misalnya guru melatih supaya peserta didik terampil menangkap bola, maka guru mengompan bola(S) yang ditangkap(R) peserta didik. Stimulus – Respon itu dilakukan berulang ulang sampai peserta didik terampil menangkap bola.
 
4. Tugas Mengarahkan
  Tugas mengarahkan bisa terjadi pada saat guru sedang melaksanakan tugas mengajar, membimbing, melatih maupun mendidik. Berikut ini contoh mengarahkan pada saat guru sedang melaksanakan tugas mengajar.

5. Tugas Menilai
  Menilai  atau penilaian adalah proses membuat pertimbangan berdasarkan informasi yang tersedia dan mengarah pada pengambilan keputusan.
Pelaksanaan tugas menilai, diawali dengan pembuatan alat alat penilaian yang akan digunakan untuk mengumpulkan informasi. Alat alat itu dapat berupa Tes atau non Tes. Selanjutnya alat alat tersebut digunakan untuk mengukur aspek - aspek kepribadian peserta didik yang sudah direncanakan. Dari kegiatan ini diperoleh informasi berupa hasil tes atau non tes ditambah hasil-hasil portofolio yang dikembangkan peserta didik.
   Kegiatan menilai dapat terjadi saat guru melaksanakan tugas membimbing, mendidik, mengajar ataupun melatih, tetapi yang paling menonjol saat guru melaksanakan tugas mengajar. 

6. Tugas Membimbing Peserta Didik
  Di SMP dan sekolah  sekolah pada jenjang  menengah,  terutama sekolah negeri, biasanya memiliki guru yang khusus melayani bimbingan peserta didik, yaitu guru BP (Bimbingan Penyuluhan) atau guru BK (Bimbingan Konseling) atau konselor. Guru tersebut disiapkan secara khusus diperguruan tinggi melalui
program studi BK yang berjenjang S1. Meskipun di sekolah itu ada konselornya. Misalnya seorang siswa mengalami kesulitan menguasai konsep konsep matematika. Konselor tidak akan berdaya menghadapi hal semacam itu, maka guru bidang studilah yang harus menangani karena ia ahlinya.
  Di  SD pada umumnya  tidak  ada  tenaga konselor. Layanan  bimbingan dirangkap guru kelas atau guru bidang studi. Tugas guru SD tambah berat dan sulit karena harus membawakan  peran bermacam-macam. Peran yang dibawakan itu ada yang tidak sejalan. Sebagai pengajar, guru boleh memberikan hukuman pada peserta didik, tetapi sebagai pembimbing, memberikan hukuman harus dihindari, karena kalau itu dilakukan guru, layanan bimbingan akan macet. Oleh karena itu, guru SD  mesti pandai-pandai membawakan peran agar  tugas mengajar dapat dilaksanakan dengan baik, begitu pula tugas bimbingan.

kode etik guru

Kode Etik Guru Indonesia

PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONSIA menyadari, bahwa pendidikan adalah merupakan suatu bidang pengabdian terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Bangsa dan Tanah Air serta kemanusiaan pada mumnya  dan Guru Indonesia yang berjiwa Pancasila  dan Undang Undang Dasar 1945 merasa ikut bertanggungjawab atas terwujudnya cita cita Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, maka guru Indonesia terpanggil untuk menunaikan karyanya  sebagai guru dengan mempedomani dasar dasar sebagai
berikut :
1.  Guru berbakti membinbing anak didik seutuhnya untuk membentuk manusia pembangunan yang ber-pancasila. 
2.  Guru memiliki kejujuran profesionil dalam menerapkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan anak didik masing masing.
3.  Guru mengadakan komunikasi terutama dalam memperoleh informasi tentang anak didik, tetapi menghindarkan diri dari segala bentuk penyalahgunaan.
4.  Guru menciptakan suasana kehidupan sekolah dan memelihara hubungan dengan orang tua murid sebaik baiknya bagi kepentingan anak didik.
5.  Guru memelihara hubungan baik dengan masyarakat disekitar sekolahnya maupun masyarakat yang lebih luas untuk kepentingan pendidikan.
6.  Guru secara sendiri sendiri dan / bersama sama berusaha mengembangkan dan meningkatkan mutu profesinya.
7.  Guru menciptakan dan memelihara hubungan antara sesama guru baik berdasarkan lingkungan kerja maupun didalam hubungan keseluruhan.
8.  Guru secara bersama-sama memelihara, membina dan meningkatkan mutu organisasi guru profesionil sebagai sarana pengabdian.
9.  Guru melaksanakan segala ketentuan yang merupakan kebijaksanaan Pemerintah dalam bidang Pendidikan. (Winarno Surachman (Ed), 1979 : 220).
Dalam perkembangannya, rumusan Kode Etik Guru Indonesia diatas mengalami  penyesuaian dan perampingan. Berikut ini rumusan Kode Etik Guru Indonesia hasil konggres PGRI tahun 1989.
 
Kode Etik Guru Indonesia
  Guru Indonesia menyadari bahwa pendidikan adalah bidang pengabdian  kepada Tuhan Yang Maha Esa, Bangsa dan Negara  serta kemanusiaan pada umumnya. Guru Indonesia yang berjiwa Pancasila dan setia pada Undang Undang Dasar 1945, turut bertanggung jawab atas terwujudnya cita cita Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Oleh karena itu, Guru Indonesia terpanggil  untuk menunaikan karyanya dengan memedomani dasar dasar sebagai berikut ini.
1.  Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila.
2.  Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran profesional.
3.  Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan.
4.  Guru menciptakan suasana sekolah sebaik baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar mengajar. 5.  Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta dan rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan.
6.  Guru secara pribadi dan bersama sama, mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya.
7.  Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, dan kesetia kawanan sosial.
8.  Guru bersama sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdiannya.
9.  Guru melaksanakan segala kebijaksanaan Pemerintah dalam bidang pendidikan. (Surya dkk, 2000 : 4.62 – 4.63).

Manfaat Kode Etik bagi Guru.
a.  Agar guru terhindar dari penyimpangan profesi, karena sudah adanya landasan yang digunakan mereka sebagai acuan.
b.  Untuk mengatur hubungan guru dengan peserta didik, teman sejawat / sekerja dan masyarakat, jabatan profesi dan pemerintah.
c.  Sebagai pegangan dan pedoman tingkah laku guru agar lebih bertanggung jawab terhadap profesinya.
d.  Pemberi arah yang benar kepada penggunaan profesinya.

Kewajiban dan Hak Guru

1. Kewajiban dan Hak guru sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil) Guru adalah PNS.Sebagai PNS, guru mempunyai kewajiban dan hak yang sama dengan PNS yang lain. Kewajiban dan Hak guru diatur dalam Undang – Undang No 8 Tahun 1974 sebagai berikut:
a. Kewajiban PNS
1. Pasal 4 : Wajib setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, UUD 1945, Negara dan Pemerintah.
2. Pasal 5 : Wajib menaati segala peraturan perundang undangan yang erlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepadanya dengan penuh pengabdian, kesadaran dan tanggung jawab.
3. Pasala 6 : a. Wajib menyimpan rahasia jabatan.
b. Pegawai Negeri hanya dapat mengemukakan rahasia jabatan kepada dan atas perintah yang berwajib atas kuasa undang undang.
 b. Hak PNS
1. Pasal 7 : Berhak memperoleh gaji yang layak sesuai dengan pekerjaan dan tanggung jawabnya.
2. Pasal 8 : Berhak atas cuti.
3. Pasal 9 : a. Bagi mereka yang ditimpa oleh suatu kecelakaan dalam dan karena tugas kewajibannya, berhak memperoleh perawatan.
b. Bagi mereka yang menderita cacat jasmani dalam dan karena menjalankan tugas kewajibannya yang mengakibatkan tidak dapat bekerja lagi, berhak memperoleh tunjangan.
c. Bagi mereka yang tewas, keluarga berhak memperoleh uang duka.
4. Pasal 10 : Pegawai negeri yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, berhak atas pensiun.
2. Kewajiban dan Hak Guru Sebagai Pendidik

 Dalam UU SISDIKNAS No 20 Tahun 2003, ada sebutan tenaga kependidikan dan pendidik. Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan (Pasal 1 ayat 5), sedangkan pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan (pasal 1 ayat 6). Jadi pendidik itu merupakan tenaga kependidikan, tetapi tenaga kependidikan belum tentu pendidik.
a. Keawjiban pendidik menurut UU SISDIKNAS pasa 40 ayat 2 :
1. Menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis dan dialogis.
2. Mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan.
3. Memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.
b. Hak pendidik menurut UU SISDIKNAS No 20 Tahun 2003 ayat 1:
1. Memperoleh penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai.
2. Memperoleh penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja.
3. Memperoleh pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas.
4. Memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan intelektual, dan
5. Memperoleh kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas.
3. Kewajiban dan Hak Guru Menurut UU No 14 Tahun 2005.
a. Kewajiban Guru Pasal 20 undang undang ini mengatakan bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban :
1.  Merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajara.
2.  Mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan
kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, tehnologi dan seni.
3.  Bertindak obyektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran.
4.  Menjunjung tinggi peraturan perundang undangan, hukum dan kode etik guru, serta nilai nilai agama dan etika, dan 
5.  Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.
b. Hak Guru.
Pasal 14 ayat 1 menyatakan bahwa  dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak :
1.  Memperoleh penghasilan diatas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial.
2.  Mendapat promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja.
3.  Memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual.
4.  Memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi.
5.  Memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas keprofesionalan.
6.  Memberikan kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan dan atau sangsi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan
perundang undangan.
7.  Memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas.
8.  Memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi.
9.  Memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan.
10. Memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi dan / atau
11. Memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam bidangnya.
c. Hak Guru di Daerah Khusus   
Pasal 29 ayat 1 menyatakan bahwa guru yang bertugas didaerah  khusus memperoleh hak :
1.  Kenaikan pangkat rutin secara otomatis.
2.  Kenaikan pangkat istimewa satu kali.
3.  Perlindungan dalam melaksanakan tugas.
4.  Pindah tugas setelah bertugas 2 tahun dan tersedia guru penganti (pasal 29 ayat 3).

Peningkatan Profesionalisme Tenaga Pendidik

Peningkatan Profesionalisme Tenaga Pendidik

  Berdasarkan pengalaman, Anda pasti  telah memahami bagaimana peningkatan profesionalisme tenaga pendidik itu dilakukan, mula dari kegiatan rutin sampai pelatihan dan pendidikan lanjut. Peningkatan profesionalisme tenaga pendidik sangat berkaitan erat dengan empat kriteria kinerja, yaitu karakteristik tenaga pendidik, proses-proses peningkatan profesionalisme, hasil dan kombinasi di antara ketiganya.  Kualitas kerja perlu tenaga pendidik, kemampuan komunikasi, insiatif, dan motivasi kerja, termasuk hal yang perlu diperhatikan. Seorang  tenaga pendidik harus memahami tugas dan tanggung jawabnya, memiliki kemampuan mengajar sesuai dengan bidangnya, mempunyai semangat tinggi, serta memiliki insiatif dan  kemauan tinggi, sehingga ia memiliki energi yang optimal dalam menjalankan tugas profesionalismenya.
  Ada sejumlah hal yang perlu Anda cermati  untuk  meningkatkan  profesionalisme tenaga pendidik.
1.  Senantiasa belajar dari pekerjaan sehari-hari.
2.  Melakukan observasi kegiatan manajemen pendidikan secara terencana.
3.  Membaca berbagai hal yang berkaitan dengan dunia pendidikan atau pross-proses pembelajaran  yang sedang dilaksanakan.
4.  Memanfaatkan hasil-hasil penelitian pendidikan orang lain.
5.  Berfikir untuk kelangsungan dan aplikasi pendidikan di masa mendatang.
6.  Merumuskan  ide-ide yang dapat diujicobakan.

Dalam upaya pembinaan dan peningkatan profesionalisme tenaga  pendidik, perlu pula dilakukan melalui pengembangkan konsep kesejawatan yang harmonis dan objektif. Untuk itu, diperlukan adanya sinergi dengan sebuah wadah organisasi (kelembagaan) para pendidik, dengan bentuk dan mekanisme kegiatan yang jelas, serta standar profesi yang  dapat diterapkan secara praktis.
  Beberapa upaya lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan profesionalisme
tenaga pendidik adalah sebagai berikut.
1.  Meningkatkan kualitas dan kemampuan dalam pelaksanaan proses pembelajaran.
2.  Berdiskusi tentang rencana pembelajaran.
3.  Berdiskusi tentang substansi materi pelajaran.
4.  Berdiskusi tentang pelaksanaan proses belajar mengajar termasuk evaluasi pengajaran.
5.  Melaksanakan onservasi aktivitas rekan sejawat di kelas.
6.  Mengembangkan kompetensi dan performansi guru.
7.  Mengkaji jurnal dan buku pendidikan.
8.  Mengikuti studi lanjut dan pengembangan pengetahuan melalui kegiatan ilmiah.
9.  Melakukan penelitian.
10. Menulis artikel.
11. Menyusun laporan penelitian.
12. Menyusun makalah.
13. Menyusun laporan atau review buku (Pidarta, 1997).

Tujuan dan Manfaat MBS

Tujuan dan Manfaat MBS

Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya bahwa MBS memberikan kewenangan yang besar kepada sekolah dalam pengambilan suatu keputusan. Oleh karena itu, sekolah mempunyai tanggung jawab yang besar dalam pengelolaan pendidikan dan pembelajaran di sekolah, merencananakan, mengorganisasikan, mengawasi,  mempertanggungjawabkan, memimpin sumber daya sekolah, kurikulum dan tata pelayanan pendidikan, serta dapat mengembangkan MBS sesuai dengan kondisi sekolah masing-masing. 
Dalam konteks pengambilan keputusan, tujuan MBS mempunyai makna bahwa pengambilan keputusan yang diambil di sekolah terhadap pendidikan menjadi lebih berkualitas, karena kewenangan  dalam pengambilan keputusan tersebut dilakukan oleh orang-orang yang mengenal dan mengetahui betul tentang sumber daya yang ada di sekolah dan kebutuhan siswa ke depan. Dengan demikian keputusan yang diambil didasarkan pada profil sekolah yang sesungguhnya, dan mengacu pada harapan-harapan yang akan dicapai yang bersumber dari warga sekolah, orang tua, dan masyarakat dengan memperhatikan kelebihan dan kelemahan
yang dimiliki sekolah. Oleh karena itu, MBS diharapkan akan dapat mendorong semua unsur tersebut untuk menjadi lebih berperan aktif  dalam pengambilan keputusan yang lebih baik, yang  berorientasi pada keberhasilan siswa dalam pembelajaran.
Konteks perencanaan menjadi bagian penting dalam kerangka MBS. Dengan perencanaan, sekolah akan manjadi lebih siap dan terencana dalam melaksanakan visi dan misi sekolah serta manjalankan program dan kegiatan sesuai dengan yang telah dilaksanakan. Pertanyaannya adalah, bagaimana perencanaan sekolah dapat dikembangkan dengan baik? Ingatlah, bahwa tujuan MBS adalah memberikan kewenangan kepada sekolah untuk menyusun perencanaan sesuai dengan kondisi riil sekolah dan mengacu kepada kepentingan semua pemangku kepentingan pendidikan. 

Dikaitkan dengan pengelolaan sumber daya sekolah, MBS mempunyai makna bahwa pengelolaan sumber daya sekolah dilakukan dan dilaksanakan oleh sekolah. Oleh karena itu sangat diharapkan terjadinya efisiensi. Efisiensi dimaksudkan agar semua sumber daya yang dimiliki sekolah dapat mencakup keseluruhan aspek program dan kegiatan yang dikembangkan untuk meningkatkan efektivitas sekolah dan meningkatkan mutu pembelajaran yang akan berdampak pada prestasi belajar siswa. Efisiensi pengelolaan sumber daya sekolah sangat erat kaitannya dengan pengambilan keputusan yang dilakukan oleh (stakeholders). 
Demikian halnya dengan konteks pengelolaan kurikulum. Dengan mengacu pada perangkat ketentuan nasional tentang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), warga sekolah baik dapat mengembangkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan pemangku kepentingan sekolah.  Faktor penting lainnya, MBS diterapkan di sekolah tidak lain untuk meningkatkan tata layanan pendidikan bagi bagi warga sekolah itu sendiri, siswa, orang tua, dan masyarakat. Tata pelayanan pendidikan yang semakin baik, diharapkan akan meningkatkan mutu pendidikan secara bertahap. 
Keseluruhan konteks yang ada tersebut dilakukan secara partisipatif, transparan, dan akuntabel. Artinya, semua keputusan, perencanaan,pengorganisasian, dan fungsi-fungsi manajemen lainnya dilakukan dengan
melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan. Dilakukan secara transparan dan akuntabel, baik dari sisi program, kegiatan, dan keuangan, kepada semua warga sekolah, masyarakat, dan pemerintah.
Manurut Slamet PH (2001), MBS bertujuan untuk "memberdayakan" sekolah, terutama sumber daya manusia (kepala sekolah, guru, karyawan, siswa, orang tua siswa, dan masyarakat sekitarnya) melalui pemberian kewenangan, fleksibilitas, dan sumber daya lain untuk memecahkan persoalan yang dihadapi oleh sekolah yang bersangkutan. Sekolah yang berdaya pada umumnya adalah sekolah yang mempunyai tingkat kemandirian tinggi dan tingkat ketergantungan rendah, bersifat adaptif- antisipatif dan proaktif, memiliki jiwa kewirausahaan tinggi (ulet,inovatif, gigih, berani mengambil resiko, dsb.), bertanggung jawab terhadap hasil
sekolah, memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen dan sumber dayanya,
melakukan kontrol terhadap kondisi kerja, memiliki komitmen yang tinggi pada dirinya, serta menilai sendiri pencapaian prestasinya. Sumber daya manusia sekolah yang berdaya, pada umumnya, memiliki ciri-ciri: pekerjaan adalah miliknya, bertanggung jawab,  memiliki cara bagaimana sesuatu dikerjakan, pekerjaan yang dilakukan memiliki kontribusi, mengetahui posisinya berada di mana, memiliki kontrol terhadap pekerjaan, serta pekerjaan merupakan bagian hidupnya. 
Hal-hal yang dapat memberdayakan  warga sekolah adalah: pemberian tanggung jawab, pekerjaan yang bermakna, memecahkan masalah pekerjaan secaratim, variasi tugas, hasil kerja yang terukur, kemampuan untuk mengukur kinerja sendiri, tantangan, kepercayaan, didengar, ada pujian, menghargai ide-ide, mengetahui dirinya bagian penting dari sekolah, kontrol yang luwes, dukungan, komunikasi yang efektif, umpan balik bagus, sumber daya yang dibutuhkan ada, dan warga sekolah diberlakukan sebagai manusia ciptaan Tuhan yang memiliki martabat tertinggi. 
Manajemen berbasis sekolah di Indonesia yang menggunakan model MPMBS (Depdiknas, 2001:5) bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif dalam kerangka
meningkatkan kualitas pendidikan. Terdapat empat tujuan MBS tersebut, yaitu:  Pertama, meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia. Kalau
Anda perhatikan pilar kebijakan pendidikan nasional, makna mutu dikaitkan dengan relevansi pendidikan. Oleh karena itu, MBS bertujuan mencapai mutu (quality) dan relevansi pendidikan yang setinggi-tingginya, dengan tolok ukur penilaian pada hasil (output dan outcome) bukan pada metodologi atau prosesnya. Mutu dan relevansi ada yang memandangnya sebagai satu kesatuan substansi, artinya hasil pendidikan yang bermutu sekaligus yang relevan dengan berbagai kebutuhan dan konteksnya. Akan tetapi, secara terpisah juga dapat dilihat bahwa makna mutu lebih merujuk pada dicapainya tujuan spesifik oleh siswa (lulusan), seperti nilai ujian atau prestasi lainnya, sedangkan relevansi lebih merujuk pada manfaat dari apa yang diperoleh siswa melalui pendidikan dalam berbagai lingkup/tuntutan kehidupan. 
Pengelolaan dan pemberdayaaan sumber daya yang tersedia dilakukan secara efektif dan efisien. Dengan katalain, MBS juga bertujuan meningkatkan efektivitas dan efisiensi. Efektif artinya pengelolaan dan penggunaan semua input dalam bentuk non-uang (jumlah dan jenis buku, peralatan, pengorganisasian kelas, metodologi, strategi pembelajaran, dan lain-lain) dikaitkan dengan hasil yang dicapai (output-outcome). Efektivitas berhubungan dengan proses, prosedur, dan ketepat-gunaan semua input yang dipakai dalam proses pendidikan di  sekolah, sehingga menghasilkan hasil belajar siswa seperti yang diharapkan (sesuai tujuan). Efektif dan tidaknya suatu sekolah diketahui lebih pasti setelah ada hasil atau dinilai hasilnya.
Sebaliknya untuk mencapai hasil yang baik diperlukan penerapan indikator atau ciri sekolah efektif. Dengan menerapkan MBS, setiap sekolah sesuai dengan kondisinya masing-masing, diharapkan dapat menerapkan metode yang tepat (yang dikuasai), dan  input lain yang tepat pula (sesuai lingkungan dan konteks sosial budaya), sehingga semua input tepat guna dan tepat sasaran, atau efektif untuk meningkatkan mutu pendidikan. Sementara itu, efisiensi berhubungan dengan nilai uang yang dikeluarkan atau harga (cost) untuk memenuhi semua input (proses dan semua input yang digunakan dalam proses) dibandingkan atau dihubungkan dengan hasilnya (hasil belajar siswa). Dengan demikian, MBS diharapkan dapat memenuhi efektivitas dan efisiensi sekolah, karena perencanaan dibuat sesuai dengan kebutuhan sekolah, sedangkan pelaksanaannya juga diawasi oleh masyarakat.
Pengelolaan dan pemberdayaaan sumber daya yang dimiliki sekolah dilakukan dalam rangka meningkatkan pelayanan pendidikan kepada siswa. Dengan MBS setiap anak diharapkan akan memperoleh layanan pendidikan yang bermutu di sekolah yang bersangkutan. Dengan asumsi bahwa setiap anak berpotensi untuk
belajar, maka MBS memberi keleluasaan kepada setiap sekolah untuk menangani setiap anak dengan latar belakang sosial ekonomi dan psikologis yang beragam untuk memperoleh kesempatan dan layanan pendidikan yang memungkinkan semua anak dan masing-masing anak berkembang secara optimal.  Kedua,  partisipatif, yakni meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melaui pengambilan keputusan bersama; 
Ketiga,  akuntabilitas, yaitu meningkatkan pertanggungjawaban sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan  pemerintah tentang mutu sekolahnya. Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban atas semua yang dikerjakan sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab yang diperolehnya. Selama ini pertanggungjawaban sekolah lebih pada masalah administratif-keuangan dan bersifat vertikal (ke atas) sesuai jalur birokrasi. Pertanggungjawaban yang bersifat  teknis edukatif terbatas pada pelaksanaan program sesuai petunjuk dan pedoman dari pusat (pusat dalam arti nasional, maupun pusat-pusat birokrasi di bawahnya), tanpa pertanggungjawaban hasil pelaksanaan program. Dengan melaksanakan semua pedoman dan petunjuk, sekolah merasa telah melaksanakan tugas dengan baik. Soal hasil pendidikan (prestasi lulusan) tidak termasuk sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan. 
Tanggung jawab atas hasil pendidikan, dengan demikian, ada pada pundak pengambil kebijakan (pusat kekuasaan),  yang akhirnya menjadi sangat berat. Padahal, kenyataannya pusat otoritas tidak dapat mengendalikan semua yang terjadi di sekolah yang kondisi dan konteksnya sangat beragam. MBS dengan desentralisasi kewenangan kepada sekolah bukan hanya memberikan kewenangan untuk mengambil keputusan yang lebih luas (daripada sebelumnya), tetapi juga sekaligus membebankan pertanggungjawaban oleh sekolah atas segala yang dikerjakan dan hasil kerjanya.  Akuntabilitas pendidikan dan hasilnya (baik administratif-finansial maupun tingkat kualitas yang dicapai) diberikan bukan hanya kepada satu pihak dalam hal ini pusat/birokrasi, tetapi kepada berbagai pihak yang berkepentingan,  termasuk di dalamnya orang tua, komite sekolah (masyarakat), dan pengguna lulusan, selain kepada guru-guru dan warga sekolah.Akuntabilitas kepada berbagai pihak ini pada gilirannya akan meningkatkan kepedulian yang kuat (komitmen) pihak-pihak terkait tersebut atas apa yang terjadi di sekolah, terutama dalam hal mutu, keadilan, efektivitas, efisiensi, transparansi, dan sebagainya yang merupakan unsur-unsur yang dituntut oleh konsep akuntabilitas pendidikan.
Keempat,  meningkatkan kompetisi yang sehat antarsekolah tentang pendidikan yang akan dicapai.  
Selanjutnya, menurut Nurkholis  (2003:25), penerapan MBS mempunyai beberapa manfaat atau keuntungan.  Pertama, secara formal MBS dapat memahami keahlian dan kemampuan orang-orang  yang bekerja di sekolah. Keahlian dan kemampuan personil sekolah itu dimanfaatkan untuk pengambilan keputusan dalam
rangka meningkatkan kualitas pembelajaran. Keahlian dan kemampuan personil sekolah dihargai yang selanjutnya  menimbulkan rasa percaya diri.   Kedua, meningkatkan moral guru. Moral guru meningkat karena adanya komitmen dan tanggung jawab dalam setiap pengambilan  keputusan di sekolah. Keadaan ini diharapkan dapat mendorong  guru untuk mendukung dengan sepenuh tenaga dalam  mencapai tujuan dan tidak berusaha untuk menghalang-halangi pencapaian tujuan tersebut. 
Ketiga,  keputusan yang diambil sekolah memiliki akuntabilitas. Hal ini terjadi karena  konstituen  sekolah memiliki andil yang cukup dalam setiap pengambilan keputusan. Akhirnya, mereka dapat menerima konsekuensi atas keputusan yang diambil dan memiliki komitmen untuk mencapai tujuan yang ditetapkanbersama.  Keempat,  menyesuaikan sumber keuangan terhadap tujuan instruksional yangdikembangkan di sekolah. Keputusan yang diambil pada tingkat sekolah akan lebih rasional karena mereka tahu kekuatannya sendiri, terutama kekuatan keuangannya.
Kelima,  mendorong munculnya pemimpin baru di sekolah. Pengambilan keputusan di sekolah tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya peran seorang pemimpin. Dalam MBS pemimpin akan muncul dengan sendirinya tanpa menunggu penunjukan dari birokrasi pendidikan. Keenam, meningkatkan kualitas, kuantitas, dan fleksiblitas komunikasi  setiap komunitas sekolah  dalam rangka pencapaian kebutuhan sekolah. Kebersamaan dalam setiap pemecahan masalah di sekolah telah memper-lancar alur komunikasi di antara warga sekolah.
Myers dan Stonehill (1993:2) mengemukakan bahwa manfaat MBS adalah sebagai berikut: (1) memperkenankan orang-orang yang berkompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan dapat meningkatkan pembelajaran; (2) memberikan kesempatan kepada komunitas sekolah dalam keterlibatan mengambil keputusan kunci (prioritas); (3) memfokuskan akuntabilitas pada keputusan; (4) mengarah pada kreativitas yang lebih besar dalam mendesain program; (5) mengatur ulang sumber daya untuk mendukung tujuan yang dikembangkan di sekolah; (6)  mengarahkan pada penganggaran yang realistik, yang mendorong orang tua dan guru semakin menyadari akan status keuangan sekolah, batasan pembelanjaan, dan biaya
dari setiap program; serta (7) meningkatkan moril para guru dan memelihara kepemimpinan barupada setiap tingkat.
Selanjutnya, Kubick & Kathelin (1988:2) mengungkapkan bahwa kelompok kerja The American Association of School Administrators, the National Association of Elementary School Principals, and the National Association of Secondary School Principals (1988) mengidentifikasi sembilan manfaat dari MBS. Pertama, secara formal MBS dapat mengenali keahlian dan kompetensi orang-orang yang bekerja di sekolah dalam rangka membuat keputusan  untuk meningkatkan pembelajaran. Kedua,  melibatkan guru, staf sekolah, dan masyarakat dalam pengambilan keputusan.  Ketiga,  meningkatkan moral para guru.  Keempat,  menfokuskan pada akuntabilitas pengambilan keputusan. Kelima, membawa keuangan dan sumber daya pembelajaran dalam mengembangkan tujuan pembelajaran di setiap sekolah. Keenam, memelihara dan merangsang pemimpin baru di semua tingkatan. Ketujuh, meningkatkan kuantitas dan kualitas komunikasi. Kedelapan, masing-masing sekolah lebih fleksibel dalam mendesain program menuju kreativitas yang lebih besar dan dalam memenuhi kebutuhan para siswanya;  Kesembilan, penganggaran menjadi nyata dan lebih realistik. 
Sementara itu, situs program  Managing Basic Education (MBE) mengungkapkan bahwa manfaat MBS bagi sekolah adalah menciptakan rasa tanggung jawab melalui administrasi sekolah yang lebih terbuka. Kepala sekolah, guru, dan anggota masyarakat bekerja sama dengan baik untuk membuat Rencana Pengembangan Sekolah. Sekolah memajangkan anggaran sekolah dan perhitungan dana secara terbuka pada papan sekolah. Keterbukaan ini telah meningkatkan kepercayaan, motivasi, serta dukungan orang tua dan masyarakat terhadap sekolah. Banyak sekolah yang melaporkan kenaikan sumbangan orang tua untuk menunjang
sekolah. 
Di samping itu, pelaksanaan PAKEM (pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan) atau pembelajaran kontekstual dalam MBS, mengakibatkan peningkatan kehadiran anak di sekolah, karena mereka senang belajar.

Sabtu, 03 September 2011

MOTIF MBS

Motif  Penerapan MBS

Seperti yang Anda ketahui pada Subunit 1 tentang sejarah MBS, maka motifditerapkannya MBS tentunya tidak terlepas dari sejarah munculnya MBS di suatunegara. Menurut Bank Dunia dalam Q/A for the web/knowledge nugget yang ditulisoleh Edge (2000), terdapat delapan motif diterapkannya MBS yaitu motif ekonomi,profesional, politik, efisiensi administrasi, finansial, prestasi siswa, akuntabilitas, danefektivitas sekolah. 
King dan Kozler (1988) menjelaskan mengapa manajemen lokal secaraekonomi lebih efektif. Mereka mencatat bahwa orang-orang yang mempunyaikeuntungan dan kerugian  serta mempunyai  informasi terbaik tentang apa yangsesungguhnya terjadi di sekolah adalah orang yang mampu membuat keputusan yang tepat tentang bagaimana sekolah seharusnya menggunakan sumber daya danbagaimana siswa seharusnya belajar.
Secara politis, MBS sebagaimana bentuk reformasi desentralisasi lainnyadigunakan untuk mendorong adanya partisipasi demokratis dan kestabilan politik, dimana pemerintah pusat memberikan kesempatan mendesentralisasikan beberapaaspek pengambilan keputusan di bidang  pendikan untuk mendorong keleluasaanyang lebih besar kepada daerah. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Gamage, D(2003:2) yang menyatakan bahwa reformasi pendidikan, termasuk  MBS padadasarnya karena faktor politik, di mana terjadi proses restrukturisasi birokrasi dalamsistem pendidikan di sekolah. Kepala sekolah berbagi kekuasaan dan kewenangandengan pemangku kepentingan (stakeholders) pendidikan dalam pengambilankeputusan. 
Motif profesional menggambarkan bahwa para profesional sekolahmempunyai pengalaman dan keahlian untuk membuat keputusan pendidikan yangpaling tepat untuk sekolah dan siswanya. Para profesional juga dapat memberikansumbangan pengetahuan pendidikan yang dimiliki berkenaan dengan kurikulum,pedagogik, pembelajaran dan proses manajemen sekolah. Di samping itu, paraprofesional juga terlibat dalam manajemen sekolah dan juga mampu memberimotivasi dan komitmen yang lebih pada pembelajaran di sekolah. 
Motif efisiensi administrasi menunjukkan bahwa penerapan MBS sebagai alat efisiensi administrasi di sekolah, menempatkan sekolah pada posisi terbaik untukmengalokasikan sumber daya secara efeketif dalam menemukan kebutuhan para siswa. Banyak sistem yang didesentralisasi mencoba untuk meningkatkan
akuntabilitas. Oleh karena itu, berkurangnya tingkat birokrasi pusat mendorongterjadinya efisiensi administrasi yang lebih besar. Efisiensi di tingkat sekolah terjadi ketika partisipan lokal membuat keputusan sendiri.
Manajemen Berbasis Sekolah dapat juga digunakan sebagai alat untukmeningkatkan sumber pendanaan sekolah secara lokal. Asumsinya adalah bahwadengan memberi harapan kepada orang tua dan menerima keterlibatan orang tua dalam pengambilan keputusan di tingkat sekolah, orang tua akan menjadi termotivasi
untuk meningkatkan komitmen mereka kepada sekolah. Pada gilirannya, orang tuaakan menjadi lebih berkeinginan untuk menyumbangkan uang, tenaga, dan sumberdaya lain yang diperlukan kepada sekolah.
Meningkatkan prestasi siswa merupakan motif utama untuk memperkenalkanMBS. Hal itu didasari oleh pemikiran bahwa jika orang tua dan para guru diberiotoritas untuk membuat keputusan atas nama sekolah mereka, iklim di sekolah akanberubah untuk mendukung pencapaian prestasi siswa. Meskipun bukti empirik untukmendukung asumsi itu tidak kuat, tetapi  dalam konteks ini, jika MBS sebagai motif dalam implementasi MBS, maka yang  diperlukan adalah bagaimana mengubahproses pembelajaran. Ini dapat dilakukan melalui otonomi dalam mendesain pembelajaran untuk meningkatkan prestasi siswa sesuai dengan sumbder daya yang
dimiliki. 
Melibatkan para aktor di  tingkat sekolah dalam pengambilan keputusan danpelaporan dapat menciptakan dorongan dan perhatian yang lebih besar untukpeningkatan mutu sekolah. Ketika terjadi desentralisasi pengambilan keputusan digunakan untuk tujuan meningkatkan akuntabilitas, tujuan utamanya adalah untuk
meningkatkan suara dari mereka yang kurang terdengar (atau setidaknya tidak cukupmendengarkan) seperti dalam konteks struktur tata layanan sekolah tradisional.Menciptakan lebih efisien dan hemat biaya sekolah pada struktur administratifsekolah adalah tujuan utama kedua setelah akuntabilitas. 
Menurut laporan Bank Dunia (2004), pentingnya MBS adalah untukmeningkatkan akuntabilitas kepala sekolah dan guru terhadap siswa, orang tua,  sertamengizinkan pengambil keputusan lokal  untuk menentukan gabungan input dankebijakan pendidikan yang tepat, yang disesuaikan dengan kenyataan dan kebutuhan lokal.
Sekolah efektif merupakan salah satu motif diterapkannya MBS. Winkler &Gershberg (1999) berhipotesis bahwa  beberapa komponen kunci sekolah efektifboleh jadi dipengaruhi oleh implementasi MBS, yang pada akhirnya dapatmeningkatkan komponen-komponen itu untuk perbaikan pembelajaran. Merekamenyelidiki bagaimana MBS mendorong ke arah peningkatan karakteristik kuncitentang sekolah efektif yang mencakup kepemimpinan yang kuat, guru-guru yangterampil dan berkomitmen, berfokus pada peningkatan mutu pembelajaran, danadanya rasa tanggung jawab terhadap hasil. 
Di Indonesia, menurut Departemen Pendidikan Nasional, terdapat empat motif penerapan MPMBS. Pertama, sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan,peluang dan ancaman bagi dirinya sehingga sekolah dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya pendidikan yang tersedia untuk memajukan sekolahnya.
Kedua, sekolah lebih mengetahui kebutuhan lembaganya sehingga pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sekolah lebih cocok untuk memenuhi kebutuhan sekolah, khususnya input pendidikan yang akan dikembangkan dan didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan siswa. Ketiga, keterlibatan semua warga sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan sekolah dan kontrol dapat menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat, sehingga penggunaan sumber daya pendidikan lebih efisien dan efektif. Keempat, akuntabilitas sekolah tentang mutu pendidikan masing-masing kepada pemerintah, orang tua siswa, dan masyarakat, mendorong sekolah untuk berupaya
semaksimal mungkin melaksanakan dan mencapai sasaran mutu pendidikan yang direncanakan, dengan melakukan upaya-upaya inovatif dengan dukungan orang tua, masyarakat, dan pemerintah. 
Kalau mencermati motif yang telah digambarkan di atas, pada hakikatnya inti
penerapan MBS bermuara pada peningkatan kualitas pendidikan. Nurkolis (2003:23)mengemukakan bahwa motif diterapkannya MBS adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan secara umum, baik itu menyangkut kualitas pembelajaran, kurikulum, sumber daya manusia maupun tenaga  kependidikan lainnya, dan pelayanan
pendidikan.  

MBS

Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah 

MBS memiliki banyak pengertian, bergantung dari sudut pandang orang yang mengartikannya. Nurkholis (2003:1), misalnya, menjelaskan bahwa  Manajemen Berbasis Sekolah  terdiri dari tiga kata, yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah. Pertama, istilah manajemen memiliki banyak arti.  Secara umum manajemen dapat diartikan sebagai proses mengelola sumber daya secara efektif untuk mencapai tujuan. Ditinjau dari aspek pendidikan,  manajemen pendidikan diartikan sebagaisegala sesuatu yang berkenaan dengan  pengelolaan proses pendidikan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan,  baik tujuan jangka pendek, menengah maupun tujuan jangka panjang. Kedua, kata berbasis mempunyai kata dasar basis
atau  dasar.  Ketiga, kata  sekolah merujuk pada lembaga tempat berlangsungnya proses belajar mengajar. Bertolak dari arti ketiga istilah itu, maka istilah Manajemen Berbasis Sekolah dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berkenaan denganpengelolaan sumber daya yang berdasar  pada sekolah itu sendiri dalam proses pembelajaran untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan.  Kalau Anda perhatikan makna  berdasar pada sekolah itu sendiri adalah pengelolaan sumber daya yang dimiliki sekolah serta dikelola dan dilakukan oleh sekolah itu sendiri. Seperti yang telah  diuraikan dalam pendahuluan, makna ini tentunya berbeda dari makna manajemen pendidikan sebelumnya, yaitu bahwasemua diatur dari pemerintah pusat (sentralistik). Dengan demikian, Anda dapat melihat bahwa telah terjadi perubahan paradigma manajemen pendidikan di sekolah, yang semula diatur dan dikendalikan oleh  pusat dan birokrasinya (sentralistik), menjadi pengelolaan yang berdasar pada potensi atau kemampuan sekolah itu sendiri (desentralistik). Dalam konteks desentralisasi, sekolah mempunyai kewenanganpenuh dalam mengatur pendidikan dan pembelajaran, merencanakan, mengorganisasikan, mengawasi, mempertanggungjawabkan, serta memimpin sumber daya yang ada untuk mengoptimalkan pelaksanaan pembelajaran sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. 
Seperti halnya Nurkholis, Slamet PH (2001) mendefinisikan MBS dengan bertolak dari kata  manajemen, berbasis, dan sekolah. Menurut Slamet, manajemenberarti koordinasi dan penyerasian sumber daya melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan atau untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Berbasis artinya “berdasarkan pada” atau “berfokuskan pada”. Sedangkan  sekolah merupakanorganisasi terbawah dalam jajaran Departemen Pendidikan Nasional  (Depdiknas) yang bertugas memberikan “bekal kemampuan dasar” kepada peserta didik atas dasar ketentuan-ketentuan yang bersifat legalistik (makro, meso, mikro) dan profesionalistik (kualifikasi, untuk sumber daya manusia).
Atas dasar itu pula, Slamet menyimpulkan bahwa MBS adalah pengkoordi-nasian dan penyerasian sumber daya yang dilakukan secara otonom (mandiri) oleh sekolah melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan sekolah dalam kerangka pendidikan nasional, dengan melibatkan semua kelompok kepentingan
yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan(partisipatif). Kelompok kepentingan tersebut meliputi: kepala sekolah dan wakil-wakilnya, guru, siswa, konselor, tenaga administratif,  orangtua siswa, tokoh masyarakat, para profesional, wakil pemerintahan, wakil organisasi pendidikan.
Wohlsteeter, Priscilla & Mohrman (1996) menyatakan bahwa MBS berarti pendekatan politis untuk mendesain ulang organisasi sekolah dengan memberikan kewenangan dan kekuasaan kepada partisipan sekolah di tingkat lokal guna memajukan sekolahnya. Partisipan lokal itu terdiri atas: kepala sekolah, guru,
konselor, pengembang kurikulum, administrator, orang tua siswa, masyarakat sekitar, dan siswa. Sedangkan Myers dan Stonehill (1993) mengemukakan bahwa MBSmerupakan strategi untuk memperbaiki pendidikan dengan mentansfer otoritas pengambilan keputusan secara signifikan dari pemerintah pusat dan daerah ke
sekolah-sekolah secara individual. Penerapan MBS memberikan kewenangan kepada kepala sekolah, guru, siswa, orang tua, dan msyarakat untuk memiliki kontrol yang lebih besar dalam proses pendidikan dan memberikan mereka tanggung jawab untukmengambil keputusan tentang anggaran, personil, dan kurikulum. Keterlibatan pemangku kepentingan (stakeholder) lokal dalam pengambilan keputusan akan dapat
meningkatkan lingkungan belajar yang efektif bagi siswa. 
Sementara itu, Ogawa & Kranz (1990:290) memandang MBS secara konseptual sebagai perubahan formal dari struktur tata pelayanan pendidikan (governance) yaitu pada distribusi kewenangan    pengambilan keputusan sebagai bentuk desentralisasi yang mengidentifikasi sekolah sebagai unit utama dari
peningkatan dan kepercayaan, dan juga  sebagai alat utama untuk meningkatkan partisipasi dan dukungan. Beberapa kewenangan formal  adalah untuk membuat keputusan tentang sumber-sumber pendanaan (budget), ketenagaan, dan program yang didelegasikan dan didistribusikan kepada orang-orang antarberbagai level. 
Beberapa struktur formal seperti kepala sekolah, guru, orang tua, dan kadang-kadang siswa dan masyarakat sekitarnya yang dikondisikan sedemikian rupa sehingga dapatsecara langsung dilibatkan dalam pembuatan keputusan sekolah secara luas.  Senada dengan pengertian Ogawa & Kranz, Kubick & Katheleen (1988:2)
menyatakan bahwa MBS merupakan suatu sistem administrasi di mana sekolah merupakan satuan yang utama dalam pengambilan keputusan bidang pendidikan.
Tanggung jawab untuk keputusan tentang  anggaran, personil, dan kurikulum ditempatkan di tingkatan sekolah dengan memberikan  kontrol proses pendidikan kepada kepala sekolah, guru, siswa, dan orang tua. 
Dalam buku  Petunjuk Program MBS, kerjasama Pemerintah Indonesia, UNESCO dan Unicef, dinyatakan bahwa MBS dapat dipandang sebagai suatupendekatan pengelolaan sekolah dalam rangka desentralisasi pendidikan yang memberikan kewenangan yang lebih luas kepada sekolah untuk mengambil keputusan mengenai pengelolaan sumber daya pendidikan sekolah (manusia, keuangan, material, metode, teknologi, wewenang dan waktu) yang didukungdengan partisipasi yang tinggi dari warga sekolah, orang tua, dan masyarakat, serta sesuai dengan kerangka kebijakan pendidikan nasional dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan (Direktorat TK & SD, 2005: 6). Dalam bentuk manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS), MBS dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan, orang tua siswa dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional (Depdiknas, 2002:5).
Perihal MBS ini, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 51, ayat (1) menyatakan, “Pengelolaan satuan pendidikan anak usiadini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah.”
Selanjutnya, penjelasan pasal 51, ayat (1) menerangkan bahwa, “Yang dimaksud dengan manajemen berbasis sekolah/madrasah adalah bentuk otonomi manajemenpendidikan pada satuan pendidikan, yang dalam hal ini kepala sekolah/ madrasah dan guru dibantu oleh komite sekolah/madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan”.  Otonomi memang bermakna pemilikan kewenangan mengatur semua masalah secara mandiri. Namun, dalam konteks MBS di Indonesia, pelaksanaannya masih terikat dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik secara nasional, maupun daerah. Artinya otonomi yang dimaksudkan di dalam penjelasan pasal 51 ayat (1) UU Sisdiknas No. 23 Tahun 2003 merupakan bentuk desentralisasi yang bersifat relatif dan mengacu kepada perundang-undangan dan peraturan yang berlaku baik di tingkat nasional maupun di daerah. Sungguh pun demikian, dengan MBS, tanggung jawab sekolah menjadi lebih besar. Sekolah dituntut untuk menunjukkan hasil kerjanya sehubungan  dengan kewenangan lebih besar yang diperolehnya sebagai bentuk  akuntabilitas, baik kepada warga sekolah maupun pemerintah. 
           Selanjutnya, peran komite sekolah – yang dalam hal ini merupakan refleksi dari pemangku kepentingan pendidikan kepentingan  (orang tua, masyarakat, pengguna lulusan, guru-kepala sekolah, dan penyelenggara pendidikan) --  terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung di dalam pengelolaan pendidikan disekolah. Artinya, dengan MBS tujuan pendidikan yang diharapkan oleh pemangku dapat dipenuhi.  

Klasifikasi anak berkebutuhan khusus

Klasifikasi Anak Tunanetra

Ilustrasi

  Pada suatu sekolah, seorang guru mendapati seorang siswanya yang senantiasa mendekatkan penglihatannya pada saat membaca, dan terkadang mengarahkan telinganya pada penjelasan guru atau sumber suara lainnya. Padahal anak tersebut secara fisik tidak nampak adanya kecacatan pada matanya. Siswa tersebut ternyata berbeda dengan satu siswa lainnya yang memang secara fisik nampak adanya kelainan pada kedua indera
penglihatannya. 

  Anak tunanetra sebagaimana yang dicontohkan pada ilustrasi di atas,  adalah anak-anak yang mengalami kelainan atau gangguan fungsi penglihatan, yang memiliki tingkatan atau klasifikasi yang berbeda-beda.
secara pedagogis membutuhkan layanan pendidikan khusus dalam belajarnya di sekolah. Berdasarkan tingkatannya, dapat diklasifikasi sebagai berikut: 

1.  Berdasarkan Tingkat Ketajaman Penglihatan
Seseorang yang dikatakan penglihatannya normal, apabila hasil tes Snellen menunjukkan ketajaman penglihatannya 20/20 atau 6/6 meter. Sedangkan untuk seseorang yang mengalami kelainan penglihatan
kategori  Low vision (kurang lihat), yaitu penyandang tunanetra yang memiliki ketajaman penglihatan 6/20m-6/60m. Kondisi yang demikian sesungguhnya penderita masih dapat melihat dengan bantuan alat khusus.
Selanjutnya untuk seseorang yang  mengalami kelainan penglihatan katergori berat, atau   The blind,  yaitu penyandang tunanetra yang memiliki tingkat ketajaman penglihatan 6/60m atau kurang. Untuk yang
kategori berat ini, masih ada dua kemungkinan (1) penderita adakalanya masih dapat melihat gerakan-gerakan tangan, ataupun (2) hanya dapat membedakan gelap dan terang. Sedangkan tunanetra yang memilkiketajaman penglihatan dengan visus 0, sudah sama sekali tidak dapat melihat.

2.  Berdasarkan adaptasi Pedagogis, 
Kirk, SA (1989) mengklasifikasikan  penyandang tunanetra berdasarkan kemampuan  penyesuaiannya dalam pemberian layanan pendidikan khusus yang diperlukan. Klasifikasi dimaksud adalah:   Kemampuan melihat sedang (moderate visual disability), dimana pada taraf ini mereka masih dapat melaksanakan tugas-tugas visual yang dilakukan orang awas dengan menggunakan alat bantu khusus serta dengan bantuan cahaya yang cukup.   Ketidakmampuan melihat taraf berat (severe visual disability). Pada taraf ini, mereka memiliki penglihatan yang kurang baik, atau kurang akurat meskipun dengan menggunakan alat Bantu visual dan
modifikasi, sehingga mereka membutuhkan banyak dan tenaga dalam mengerjakantugas-tugas visual. 
Ketidakmampuan melihat taraf sangat berat (profound visual disability)
   Pada taraf ini mereka mengalami kesulitan dalam melakukan tugas-tugas visual, dan tidak dapat melakukan tugas-tugas visual yang lebih detail seperti membaca dan menulis. Untuk itu mereka sudah tidak dapat memanfaatkan penglihatannya dalam pendidikan, dan mengandalkan indra perabaan  dan pendengaran dalam menempuh pendidikan. 

Klasifikasi Anak Tunarungu

Ilustrasi

  Tedi, adalah seorang anak yang dinyatakan oleh dokter mengalami ketulian, tetapi di sekolah ternyata masih dapat mengikuti penjelasan guru dengan suara-suara yang keras. Padahal menurut sepengetahuan guru tersebut, yang namanya anak tuli atau tunarungu itu pastilah mereka tidak dapat mendengarkan suara-suara yang datang padanya, sehingga guru tersebut menjadi ragu tentang kemampuan atau ketidakmampuan seorang anak tunarungu dalam merespon suara yang datang padanya.

  Tunarungu adalah istilah yang menunjuk pada kondisi ketidakfungsian organ pendengaran atau telinga seseorang anak. Kondisi ini menyebabkan mereka mengalami hambatan atau keterbatasan dalam merespon bunyi-bunyi yang ada di sekitarnya. Tunarungu terdiri atas beberapa tingkatan kemampuan mendengar, yang umum dan khusus. Ada beberapa klasifikasi anak tunarungu secara umum, yaitu:
1.  Klasifikasisi umum   The deaf, atau tuli, yaitu penyandang tunarungu berat dan sangat berat dengan tingkat ketulian di atas 90 dB.   Hard of Hearing, atau kurang dengar, yaitu penyandang tunarungu ringan atau sedang, dengan derajat ketulian 20 – 90 dB.  
                                                                                                                
2.  Klasifikasi Khusus    Tunarungu ringan, yaitu penyandang tunarungu yang mengalami tingkat  ketulian 25– 45 dB Yaitu sesorang yang mengalami ketunarunguan taaf ringan,  dimana ia mengalami kesulitan untuk merespon suara-suara yang datangnya agak jauh. Pada kondisi yang demikian, seseorang anak secara
pedagogis sudah memerlukan perhatian khusus dalam belajarnya di sekolah, misalnya dengan menempatkan tempat duduk di bagian depan, yang dekat dengan guru.     Tunarungu sedang, yaitu penyandang tunarungu yang mengalami tingkat  ketulian 46 – 70 dB Yaitu seseorang yang mengalami ketunarunguan taraf sedang, dimana ia hanya dapat mengerti percakapan pada jara 3-5 feet secara berhadapan, tetapi tidak dapt mengikuti diskusi-diskusi di kelas. Untuk anak yang mengalami ketunarunguan taraf ini memerlukan
adanya alat bantu dengar (hearing aid), dan memerlukan pembinaan komunikasi, persepsi bunyi dan irama.    Tunarungu berat, yaitu penyandang tunarungu yang mengalami tingkat  ketulian 71 – 90 dB
Sesorang yang mengalami ketunarunguan taraf berat, hanya dapat merespon bunyi-bunyi dalam jarak yang sangat dekat dan diperkeras. Siswa dengan kategori ini juga memerlukan alat bantu dengar dalam mengikuti pendidikannya di sekolah. Siswa juga sangat memerlukan adanya pembinaan atau latihan-latihan komunikasi dan pengembangan bicaranya.    Tunarungu sangat berat (profound), yaitu penyandang tunarungu yang mengalami tingkat  ketulian 90 dB ke atas
Pada taraf ini, mungkin seseorang sudah tidak dapat merespon suara sama sekali, tetapi mungkin masih bisa merespon melalui getaran-getaran suara yang ada. Untuk kegiatan pendidikan dan aktivitas lainnya, penyandang tunarungu kategori ini lebih mengandalkan kemampuan visual atau penglihatannya. 

Klasifikasi Anak Tunadaksa

Ilustrasi

  Pada suatu kesempatan, beberapa orang guru dari sekolah umum mengunjungi lembaga yang anak-anak cacat. Di sana mereka melihat adanya berbagai macam kelainan yang dialami oleh anak, ada yang anggota tubuhnya tidak lengkap, ada yang lumpuh, ada cara berjalannya tidak sempurna, atau ada pula yang hanya bisa berguling-guling. Merekapun berfikir, apa sebenarnya yang membedakan mereka.

 
  Anak tunadaksa adalah anak-anak yang mengalami kelainan fisik, atau cacat tubuh, yang mencakup kelainan anggota tubuh maupun yang mengalami kelainan gerak dan kelumpuhan, yang sering disebut sebagai cerebral palsy (CP), dengan klasifikasi sebagai berikut:  Menurut tingkat kelainannya,  anak-anak tunadaksa dapat diklasifikasikan sebagai berikut:   

1.  Cerebral palsy (CP) :    Ringan, dapat berjalan tanpa alat bantu, mampu berbicara dan dapat menolong dirinya sendiri.    Sedang, memerlukan bantuan untuk berjalan, latihan berbicara, dan mengurus diri sendiri.     Berat, memerlukan perawatan tetap dalam ambulansi, berbicara, dan menolong diri sendiri.
2.  Berdasarkan letaknya    Spastic, kekakuan pada sebagian atau seluruh ototnya.    Dyskenisia, gerakannya tak terkontrol (athetosis), serta terjadinya kekakuan pada seluruh tubuh yang sulit digerakkan (rigid).      Ataxia, gangguan keseimbangan, koordinasi mata dan tangan tidak berfungsi, dan cara berjalannya gontai.    Campuran, yang mengalami kelainan ganda
3.  Polio    Tipe spinal, kelumpuhan pada otot-otot leher, sekat dada, tangan dan kaki    Tipe bulbair, kelumpuhan fungsi motorik pada satu atau lebih saraf tepi yang menyebabkan adanya gangguan pernapasan.    Tipe bulbispinalis, gangguan antara tipe spinal dan bulbair.     Encephalitis, yang umumnya ditandai denganadanya demam, kesadaran menurun, tremor, dan kadang-kadang kejang. 

Pendidikan Inklusif ( ABK )



Pengetian Inklusif
Untuk memahami konsep dan makna  layanan pendidikan inklusi secara komprehensif, maka ada baiknya  beberapa ilustrasi berikut ini dapat saudara perhatikan dengan seksama.
Ilustrasi 1
Bagus adalah salah seorang anak yang mengalami kelainan  fungsi pendengarannya, sedang kemampuan intelektualnya normal. Ia oleh orangtuanya dimasukkan pada Sekolah Dasar umum. Di sana bagus harus mengikuti program-program yang ada di sekolahnya, termasuk materi pelajaran yang diberikan tanpa ada perbedaan layanan yang diberikan.
Ilustrasi 2
Ada satu Sekolah Dasar  yang memiliki seorang siswa yang mengalamikelainan penglihatan atau tunanetra bernama Roni. Rupanya sekolah tersebut memiliki perhatian khusus terhadap  keberadaannya, sehingga sekolah membuat program khusus yang sesuai dengan ketunaan Roni, seperti materi pelajaran, fasilitas belajar dan tenaga pendidik yang dipersiapkan untuknya.  

Kedua ilustrasi yang dikemukakan tersebut, nampak sekali adanya persamaan dan perbedaan yang prinsip. Persamaannya adalah bahwa keduanya menunjukkan adanya siswa berkebutuhan khusus yang belajar di sekolah umum (SD) meskipun dengan cara-cara atau pendekatan yang berbeda. Sedang dilihat dari bentuk pelayanannya, keduanya menunjukkan perbedaan yang sangat prinsip. Ilustrasi pertama menunjukkan suatu konsep  mainstreaming atau integrasi, dimana siswa berkebutuhan khusus harus menyesuaikan diri dengan sistem yang sudah ada pada instutusi atau lembaga tempat belajarnya. Sebaliknya ilustrasi kedua menunjukkan konsep inklusi, dimana sistem suatu institusi atau lembaga yang menyesuaikan dengan kebutuhan siswa. Selain itu, integrasi lebih berfokus pada kurikulum dan diatur oleh guru, sedangkan inklusi berpusat pada siswa, dan dikembangkannya interaksi yang komunikatif dan dialogis. 

Dari uraian tersebut sesungguhnya  dikemukakan, bahwa konsep inklusif lebih menekankan pada upaya pemenuhan kebutuhan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Pendidikan inklusif menurut Sapon-Shevin dalam O’Neil (1994/1995) didefinisikan sebagai suatu sistem layanan pendidikan khusus yang
mensyaratkan agar semua anak berkebutuhan khusus dilayani di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya. Untuk itu perlu adanya restrukturisasi di sekolah sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus bagi setiap anak. Sejalan dengan konsep ini, Smith (2006:45)
mengemukakan, bahwa inklusi dapat berarti penerimaan anak-anak yang mengalami hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, interaksi sosial dan konsep diri (visi-misi) sekolah. Gagasan utama mengenai pendidikan inklusif ini menurut Johnsen (2003:181), adalah sebagai beriku:    Bahwa setiap anak merupakan bagian integral dari komunitas lokalnya dan kelas dan kelompok reguler.    Bahwa kegiatan sekolah diatur dengan sejumlah besar tugas belajar yang kooperatif, individualisasi pendidikan dan fleksibilitas dalam pilihan
materinya.    Bahwa guru bekerjasama dan memiliki pengetahuan tentang strategi pembelajaran dan kebutuhan pengajaran umum, khusus dan individual, dan memiliki pengetahuan tentang cara menghargai tentang pluralitas perbedaan individual dalam mengatur aktivitas kelas.
         Pendidikan inklusi mempercayai bahwa semua anak berhak mendapatkan pelayanan pendidikan yang baik sesuai dengan usia atau perkembangannya, tanpa memandang derajat, kondisi ekonomi, ataupun kelainannya.   Penting bagi guru untuk disadari, bahwa di sekolah mereka dapat membuat penyesuaian pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus, manakala mereka memiliki pandangan pendidikan yang komprehensif , yang terpusat pada anak. Meskipun mungkin masih memerlukan pelatihan tentang metode atau strategi khusus yang akan diterapkan di sekolah. Kesadaran tersebut juga perlu  dibangun, terutama berkenaan dengan pengembangan pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing anak secara individual. Ini didasari atas pertimbangan, bahwa anak memiliki hak untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas sesuai dengan potensi dan kebutuhannya. Mereka juga memiliki hak untuk belajar bersama dengan teman-teman sebayanya.

Implementasi Inklusif
Pendidikan inklusif sebenarnya  merupakan perkembangan lebih lanjut dari program mainstreaming yang sudah beberapa dekade ini diterapkan secara luas oleh para pendidik di berbagai negra untuk anak- anak berkebutuhan khusus, meskipun orientasi dan implementasinya berbeda. Ada beberapa faktor yang harus
dipertimbagkan dalam implementasi pendidikan inklusif, beberapa faktor dimaksud menurut skjorten, Miriam D (2003:52-58) adalah; (1) Kebijakan – hukum- undang-undang – ekonomi, yaitu perlunya ada undang-undang khusus yang mengakomodasi kepentingan anak berkebutuhan khusus, sertu dukungan dana dalam
implementasinya; (2) Sikap – pengalaman- pengetahuan, yaitu berkenaan dengan pengakuan hak anak serta kemampuan dan potensinya; (3) Kurikulum lokal, reginal, dan nasional; (4) Perubahan pendidikan yang potensial, inklusi harus didukung oleh reorientasi di lapangan, dalam bidang pendidikan guru dan penelitian; (5) Kerjasama lintas sektoral; (6) Adaptasi lingkungan, dan (7) Penciptaan lapangan kerja. Di Indonesia sendiri  Pelaksanaan pendidikan inklusif di sekolah didasarkan pada beberapa landasan, filosofis dan yuridis-empiris. Secara filosofis,  implementasi inklusi mengacu pada beberapa hal, diantaranya, bahwa:    Pendidikan adalah hak mendasar bagi setiap anak, termasuk anak berkebutuhan khusus    Anak adalah pribadi yang unik yang memiliki karakteristik, minat,    kemampuan dan kebutuhan belajar yang berbeda      Penyelenggaraan pendidikan menjadi tanggung jawab    bersama antara orang tua masyarakat dan pemerintah     Setiap anak berhak mendapat pendidikan yang layak     Setiap anak berhak memperoleh akses pendidikan yang  ada di lingkungan sekitarnya
Sedangkan landasan yuridis-empirisnya mengacu pada:
•  UUSPN No 20 tahun 2003, Pasal 5 Ayat (1), (2) 
•   U U D 1945 pasal 31 ayat (1) & (2). dan (3) 
•  Permen No 22 dan 23 Tahun 2006    Deklarasi Hak Asasi Manusia, 1948    Konvensi Hak Anak, 1989    Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua, 1990   Resolusi PBB nomor 48/96 tahun 1993 tentang     Persamaan Kesempatan bagi Orang Berkelainan     Pernyataan Salamanca (1994) tentang Pendidikan Inklusi Komitmen Dakar (2000) mengenai Pendidikan untuk Semua Deklarasi Bandung (2004) & Rekomendasi Bukittinggi (2005)  komitmen “pendidikan inklusif”.

Kendati demikian, selama ini masih ada beberapa persoalan prinsip yang menyangkut pelaksanaan pendidikan inklusif di sekolah. Di satu sisi, sesuai dengan perundangan yang ada pendidikan inklusif hanya berlaku bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang kemampuan intelektualnya tidak berada di bawah rata-rata. Sedangkan secara konsep filosofis,  sebenarnya inklusi adalah wadah semua anak berkebutuhan khusus, termasuk diantaranya anak-anak yang kemampuan intelektualnya berada di bawah rata-rata.

Sekolah Penyelenggara
Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif, tentulah sedolah umum yang telah memenuhi beberapa persyaratan yang telah ditentukan. Beberapa persyaratan komitmen, manajemen sekolah, sarana  prasarana, dan ketenagaan. Sekolah penyelenggara pendidikan inklusis haruslah memiliki siswa berkebutuhan khusus, memiliki komitmen terhadap pendidikan inklusi, penuntasan wajib belajar maupun terhadap komite sekolah. Selain itu juga harus memiliki jaringan kerjasama dengan lembaga-lembaga terkait, yang didukung dengan adanya fasilitas dan sarana pembelajaran yang mudah diakses oleh semua anak. Sekolah penyelenggara pendidikan inklusi juga harus menciptakan lingkungan yang ramah terhadap pembelajaran, yang memungkinkan semua siswa dapat belajar dengan nyaman dan menyenangkan. Berbagai metode, atau strategi
belajar sangat mungkin dikembangkan  pada sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusi, untuk menciptakan situasi pembelajaran yang aktif dan fleksibel. Adanya penghargaan terhadap diri  anak, memotivasi dan menumbuhkan kepercayaan diri anak, dengan menggunakan kata-kata atau nada suara yang baik.  Ada beberapa kemampuan yang harus dimiliki guru pendidikan inklusi, sebagaimana dikemukakan Mirriam S (2005), yaitu :    Pengetahuan tentang perkembangan anak    Pemahaman akan kebutuhan dan nilai interaksi komunikasi dan pentingnya dialog di kelas

  Pemahaman akan pentingnya mendorong rasa penghargaan diri anak berkaitan dengan perkembangan, motivasi dan belajar melalui suatu interaksi positif dan berorientasikan sumber    Pemahaman tentang ”Konvensi Hak Anak” dan implikasinya terhadap implementasi pendidikan dan perkembangan semua anak    Pemahaman tentang pentingnya  menciptakan lingkungan yang ramah terhadap pembelajaran yang berkaitan dengan isi, hubungan sosial, pendekatan dan metode dan bahan pembelajaran    Pemahaman arti pentingnya belajar aktif dan pengembangan pemikiran kreatif dan logis    Pemahaman pentingnya evaluasi dan asesmen berkesinambungan oleh guru    Pemahaman konsep inklusi dan pengayaan serta cara pelaksanaan inklusi dan
pembelajaran yang berdeferensi    Pemahaman terhadap hambatan belajar termasuk yang disebabkan oleh
kecacatan fisik atau mental    Pemahaman konsep pendidikan berkualitas dan kebutuhan akan implementasi
pendekatan dan metode baru.

Kurikulum yang diterapkan, dapat menggunakan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP)  dikembangkan sekolah sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar untuk anak-anak normal penuh, modifikasi, atau secara khusus dikembangkan program pembelajaran individual (PPI) bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Sekolah juga harus mempersiapkan guru pendamping khusus, yang bisa didatangkan  dari sekolah untuk anak berkebutuhan khusus (SLB) sebagai sekolah basis, ataupun guru di sekolah umum  yang telah memperoleh pelatihan khusus sebagai guru pendamping untuk anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah umum penyelenggara pendidikan inklusif.

Bentuk layanan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus


Bentuk Layanan 
  Menurut Hallahan dan Kauffman (1991)  bentuk penyelenggaraan pendidikan   bagi anak berkebutuhan khusus  ada berbagai pilihan, yaitu:
a.  Reguler Class Only (Kelas biasa dengan guru biasa)
b.  Reguler Class with Consultation (Kelas biasa  dengan konsultan guru PLB)
c.  Itinerant Teacher (Kelas biasa  dengan guru kunjung)
d.  Resource Teacher (Guru sumber, yaitu kelas biasa dengan guru biasa, namun dalam beberapa kesempatan anak berada di ruang sumber dengan guru sumber)
e.  Pusat Diagnostik-Prescriptif
f.  Hospital or Homebound Instruction (Pendidikan di rumah atau di rumah sakit, yakni  kondisi anak yang memungkinkan belum  masuk ke sekolah biasa).
g.  Self-contained Class  (Kelas khusus  di sekolah biasa  bersama guru PLB)
h.  Special Day School  (Sekolah luar biasa tanpa asrama)
i.  Residential School (Sekolah luar biasa berasrama)
               Samuel A. Kirk (1986)  membuat  gradasi layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus bergradasi dari  model segregasi  ke model mainstreaming  bentuk-bentuk layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan  khusus dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok besar, yaitu:
a.  Bentuk Layanan  Pendidikan Segregrasi
Sistem layanan pendidikan segregasi adalah  sistem pendidikan yang terpisah dari sistem pendidikan anak normal. Pendidikan anak berkebutuhan khusus melalui sistem segregasi maksudnya adalah penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan  secara khusus, dan terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untuk anak normal. Dengan kata  lain anak berkebutuhan khusus  diberikan layanan pendidikan pada lembaga pendidikan khusus  untuk anak berkebutuhan khusus, seperti Sekolah Luar Biasa  atau Sekolah Dasar Luar Biasa, Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa, Sekolah Menangah Atas Luar Biasa. Sistem pendidikan segregasi merupakan sistem pendidikan  yang paling tua. Pada  awal pelaksanaan, sistem  ini diselenggarakan  karena  adanya kekhawatiran  atau keraguan  terhadap kemampuan  anak berkebutuhan khusus untuk  belajar bersama dengan  anak normal. Selain itu, adanya  kelainan  fungsi tertentu pada  anak berkebutuhan khusus  memerlukan  layanan  pendidikan dengan  menggunakan metode yang sesuai  dengan kebutuhan khusus mereka.
Misalnya, untuk anak tunanetra, mereka memerlukan layanan khusus  berupa  braille, orientasi  mobilitas. Anak tunarungu  memerlukan komunikasi total, binapersepsi bunyi; anak tunadaksa  memerlukan layanan mobilisasi dan aksesibilitas, dan layanan terapi untuk mendukung fungsi fisiknya. Ada  empat bentuk penyelenggaraan  pendidikan dengan sistem segregasi, yaitu:
1)  Sekolah Luar Biasa (SLB)
Bentuk  Sekolah Luar Biasa merupakan bentuk sekolah yang paling tua. Bentuk SLB  merupakan bentuk unit pendidikan. Artinya, penyelenggaraan  sekolah mulai dari tingkat persiapan  sampai dengan tingkat  lanjutan 
diselenggarakan dalam satu unit  sekolah  dengan satu kepala sekolah. Pada  awalnya  penyelenggaraan  sekolah dalam bentuk unit ini  berkembang  sesuai dengan kelainan yang  ada (satu kelainan saja), sehingga  ada SLB untuk tunanetra (SLB-A), SLB untuk    tunarungu (SLB-B), SLB untuk tunagrahita (SLB-C), SLB untuk tunadaksa (SLB-D), dan SLB untuk tunalaras (SLB-E). Di setiap SLB  tersebut  ada  tingkat persiapan, tingkat dasar, dan tingkat lanjut. Sistem pengajarannya  lebih mengarah ke sistem individualisasi.
                 Selain,  ada SLB yang  hanya  mendidik satu kelainan saja, ada pula SLB yang mendidik lebih dari satu kelainan, sehingga  muncul SLB-BC yaitu SLB  untuk anak tunarungu dan tunagrahita; SLB-ABCD, yaitu SLB untuk  anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan  tunadaksa. Hal ini terjadi karena  jumlah  anak yang ada di unit tersebut sedikit dan    fasilitas sekolah terbatas.
2) Sekolah Luar Biasa  Berasrama
Sekolah Luar Biasa Berasrama  merupakan bentuk  sekolah luar biasa  yang dilengkapi dengan fasilitas  asrama. Peserta didik SLB berasrama  tinggal diasrama. Pengelolaan  asrama  menjadi satu kesatuan dengan pengelolaan sekolah, sehingga  di SLB  tersebut  ada tingkat persiapan, tingkat dasar, dan tingkat lanjut, serta unit asrama. Bentuk satuan pendidikannyapun juga  sama dengan bentuk SLB di atas, sehingga  ada SLB-A untuk anak tunanetra, SLB-
B untuk anak tunarungu, SLB-C untuk anak tunagrahita, SLB-D untuk anak tunadaksa, dan SLB-E untuk anak tunalaras, serta  SLB-AB  untuk anak tunanetra dan tunarungu.
Pada SLB berasrama, terdapat kesinambungan program pembelajaran antara  yang ada di sekolah dengan di asrama, sehingga  asrama  merupakan tempat pembinaan  setelah anak di sekolah. Selain itu, SLB berasrama  merupakan pilihan sekolah yang sesuai  bagi peserta  didik yang  berasal dari luar daerah, karena mereka terbatas fasilitas antar jemput.
3) Kelas jauh/Kelas Kunjung
Kelas jauh atau kelas kunjung adalah lembaga yang disediakan untuk memberi pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang tinggal jauh dari SLB atau SDLB. Pengelenggaraan kelasjauh/kelas kunjung
merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam rangka menuntaskan wajib belajar serta pemerataan kesempatan belajar. 
Anak berkebutuhan khusus tersebar di seluruh  pelosok tanah air, sedangkan sekolah-sekolah yang khusus mendidik mereka  masih sangat terbatas di kota/kabupaten. Oleh karena itu, dengan  adanya kelas jauh/kelas kunjung ini diharapkan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus semakin luas. Dalam penyelenggaraan kelas jauh/kelas kunjung menjadi tanggung jawab SLB terdekatnya.  Tenaga guru yang bertugas  di kelas tersebut berasal dari guru SLB-SLB di dekatnya. Mereka  berfungsi sebagai guru kunjung
(itenerant teacher). Kegiatan administrasinya  dilaksanakan di SLB terdekat tersebut.
4) Sekolah Dasar Luar  Biasa
Dalam rangka menuntaskan kesempatan  belajar bagi anak berkebutuhan khusus, pemerintah mulai Pelita II  menyelenggarakan Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB). Di SDLB  merupakan unit  sekolah yang terdiri dari berbagai kelainan yang dididik  dalam satu  atap. Dalam SDLB  terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan tunadaksa.  Tenaga kependidikan di SDLB  terdiri  dari kepala sekolah, guru untuk anak
tunanetra, guru untuk anak tunarungu, guru untuk anak tunagrahita, guru untuk anak tunadaksa, guru agama,  dan guru olahraga. Selain tenaga kependidikan, di SDLB dilengkapai dengan tenaga ahli  yang berkaitan
dengan kelainan mereka antara lain dokter umum, dokter spesialis, fisiotherapis, psikolog, speech therapist, audiolog. Selain itu ada  tenaga  administrasi  dan penjaga sekolah. Kurikulum yang digunakan di SDLB adalah kurikulum  yang digunakan di SLB untuk tingkat dasar  yang disesuikan  dengan kekhususannya. Kegiatan belajar  dilakukan  secara individual, kelompok, dan klasikal sesuai dengan ketunaan masing-masing. Pendekatan yang dipakai  juga lebih ke pendekatan individualisasi. Selain kegiatan pembelajaran, dalam rangka rehabilitasi di SDLB  juga diselenggarakan  pelayanan khusus sesuai dengan ketunaan anak.
Anak tunanetra  memperoleh latihan  menulis dan membaca braille dan orientasi mobilitas; anak tunarungu memperoleh latihan membaca ujaran, komunikasi total, bina persepsi  bunyi dan irama; anak tudagrahita
memperoleh layanan mengurus diri sendiri; dan anak tunadaksa memperoleh layanan fisioterapi dan latihan koordinasi motorik. Lama pendidikan di SDLB  sama  dengan lama pendidikan di SLB konvensional untuk tingka dasar, yaitu   anak tunanetra,  tunagrahita, dan tunadaksa selama  6 tahun, dan untuk anak tunarungu 8 tahun. Sejalan dengan perbaikan sistem perundangan di RI, yaitu UU RI No. 2 tahun 1989 dan  PP No. 72 tahun 1991, dalam pasal 4 PP No. 72 tahun 1991 satuan pendidikan luar biasa  terdiri  dari:
a) Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) dengan lama pendidikan  minimal 6 tahun
b) Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa (SLTPLB) minimal 3  tahun
c) Sekolah Menengah Luar Biasa (SMLB) minimal 3 tahun.
 
Selain itu, pada pasal 6 PP No. 72 tahun 1991  juga  dimungkinkan pengelenggaraan Taman Kanak-kanak Luar Biasa (TKLB)  dengan lama pendidikan satu sampai tiga tahun.    

b.  Bentuk Layanan  Pendidikan Terpadu/Integrasi
Bentuk layanan pendidikan terpadu/integrasi adalah sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk  belajar bersama-sama  dengan anak biasa (normal)  di sekolah umum. Dengan demikian, melalui sistem integrasi anak berkebutuhan khusus bersama-sama dengan anak
normal  belajar dalam satu atap. Sistem pendidikan integrasi disebut juga  sistem pendidikan terpadu, yaitu  sistem pendidikan yang membawa anak berkebutuhan khusus kepada suasana keterpaduan dengan anak normal. Keterpaduan tersebut  dapat bersifat menyeluruh, sebagaian, atau keterpaduan dalam rangka sosialisasi.
Pada sistem keterpaduan secara penuh  dan sebagaian, jumlah  anak berkebutuhan khusus dalam satu kelas maksimal 10 % dari jumlah siswa keseluruhan. Selain itu dalam satu kelas  hanya  ada satu jenis  kelainan. Hal ini untuk menjaga  agar beban guru kelas tidak terlalu berat, dibanding jika  guru harus melayani berbagai macam kelainan. Untuk membantu kesulitan yang dialami oleh  anak berkebutuhan khusus, di sekolah terpadu disediakan Guru Pembimbing Khusus (GPK). GPK  dapat berfungi  sebagai konsultan bagi guru kelas, kepala sekolah, atau  anak berkebutuhan khusus itu sendiri. Selain itu, GPK  juga  berfungsi sebagai pembimbing di ruang bimbingan khusus atau guru kelas  pada kelas khusus. Ada tiga  bentuk keterpaduan  dalam layanan pendidikan  bagi anak berkebutuhan khusus  menurut Depdiknas  (1986). Ketiga bentuk tersebut adalah:
1)  Bentuk Kelas Biasa
Dalam bentuk keterpaduan ini anak berkebutuhan khusus  belajar di kelas biasa secara penuh dengan menggunakan kurikulum  biasa. Oleh karena itu sangat diharapkan adanya  pelayanan dan bantuan guru kelas atau guru bidang studi  semaksimal mungkin  dengan memperhatikan petunjuk-petunjuk khusus dalam melaksanakan  kegiatan belajar-mengajar di kelas biasa. Bentuk keterpaduan ini  sering  juga disebut   keterpaduan penuh. Dalam keterpaduan ini guru pembimbing khusus  hanya berfungsi sebagai  konsultan  bagi kepala sekolah, guru kelas/guru bidang studi, atau orangtua anak berkebutuhan khusus. Seagai konsultasn, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai penasehat  mengenai kurikulum, maupun permasalahan 
dalam mengajar anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu perlu disediakan ruang  konsultasi  untuk guru pembimbing khusus. Pendekatan, metode, cara penilaian  yang digunakan pada kelas biasa ini  tidak berbeda  dengan  yang digunakan pada  sekolah  umum. Tetapi  untuk beberapa mata pelajaran  yang disesuaikan dengan  ketunaan anak. Misalnya,  anak tunanetra untuk pelajaran menggambar, matematika, menulis, membaca perlu  disesuaikan dengan kondisi  anak. Untuk anak tunarungu mata pelajaran kesenian, bahasa asing/bahasa Indonesia (lisan)  perlu disesuaikan  dengan kemampuan  wicara anak.  
2)  Kelas Biasa dengan Ruang Bimbingan Khusus
Pada keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus  belajar di kelas biasa dengan menggunakan  kurikulum biasa serta  mengikuti  pelayanan khusus untuk mata pelajaran tertentu yang  tidak  dapat diikuti oleh anak berkebutuhan khusus bersama dengan   anak normal.  Pelayanan khusus  tersebut diberikan  di ruang bimbingan khusus oleh guru pembimbing khusus (GPK), dengan menggunakan pendekatan  individu dan metode  peragaan yang sesuai. Untuk keperluan tersebut, di ruang  bimbingan khusus dilengkapi  dengan peralatan  khusus  untuk memberikan  latihan dan bimbingan khusus. Misalnya  untuk  anak tunanetra, di ruang bimbingan khusus  disediakan  alat tulis braille, peralatan orientasi mobilitas. Keterpaduan  pada tingkat ini  sering disebut juga  keterpaduan sebagian.
3)  Bentuk Kelas Khusus
Dalam  keterpaduan ini anak berkebutuhan khusus mengikuti pendidikan  sama  dengan kurikulum di SLB secara penuh di kelas khusus pada sekolah umum  yang melaksanakan program pendidikan terpadu. Keterpaduan ini  disebut juga keterpaduan  lokal/bangunan atau keterpaduan yang bersifat
sosialisasi. Pada tingkat keterpaduan ini, guru pembimbing khusus  berfungsi sebagai  pelaksana program  di kelas khusus. Pendekatan, metode, dan cara penilaian   yang digunakan  adalah  pendekatan, metode, dan cara  penilaian   yang biasa digunakan di SLB. Keterpaduan  pada tingkat ini  hanya  bersifat  fisik dan sosial, artinya  anak berkebutuhan khusus dapat dipadukan  untk kegiatan  yang bersifat  non akademik, seperti olahraga, keterampilan, juga sosialisasi  pada waktu jam-jam istirahat atau acara lain yang diadakan oleh sekolah.

HAK YANG DIMILIKI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS


Ilustrasi
Seorang ibu mengantar Narni anaknya ke sebuah sekolah dasar negeri untuk  mendaftarkan sebagai siswa baru di sekolah tersebut. Setelah memenuhi berbagai  persyaratan administrasi maka Narni  tercatat sebagai calon siswa sekolah,  selanjutnya  Narni mengikuti tes pemeriksaan fisik dan diketahui jika Narni memiliki  kelainan pada pendengarannya, maka dengan tegas sekolah menolak dan  membatalkan Narni menjadi siswa sekolah, dengan alasan bahwa sekolah ini hanya  untuk anak-anak yang normal. Dengan perasaan kecewa ibu Narni pergi menuju ke  sekolah khusus atau SLB bagi anak-anak tunarungu untuk mendaftarkan Narni di  sekolah khusus ini, tentu saja di sekolah khusus ini Narni dapat diterima sebagai  siswa karena memang sesuai dengan keadaan/kondisi Narni. Namun harapan ibu  Narni agar anaknya kelak dapat berprestasi dan mampu bersaing dengan anak-anak  normal, serta dapat diterima di sekolah umum tidak eklusif.   Dari ilustrasi kejadian tersebut di atas sebenarnya semua manusia diciptakan  sama hal ini sering didengungkan oleh berbagai pihak, tetapi dalam realita kehidupan  terutama untuk anak-anak berkebutuhan khusus masih merupakan suatu perjuangan, walapun telah memasuki alam demokrasi yang menghargai segala perbedaan dan  menjunjung tinggi semua hak warga negara. Meskipun dalam pembukaan undang- undang dasar ungkapan kalimat persamaan hak telah ditegaskan, namun diperlukan  interprestasi persamaan hak memperoleh kesempatan. Hal ini mengandung arti kesempatan memperoleh pendidikan bagi setiap warga negara, yang tidak membedakan-bedakan termasuk di dalamnya anak berkebutuhan khusus. Untuk itu perlu dikaji adakah hak-hak anak berkebutuhan khusus telah dituangkan dalam perangkat hukum perundangan?
         Masih banyak permasalah tentang persamaan kesempatan memperoleh pendidikan yang dipandang deskriminatif terhadap  anak-anak berkebutuhan khusus. Masih sangat sedikit lembaga pendidikan yang diperuntukan bagi anak-anak berkebutuhan khusus berdasarkan data dari direktorat PSLB anak berkebutuhan khusus yang telah mendapatkan  layanan pendidikan baru 81.343 anak yang dilayani di sekolah khusus (SLB), sekolah inklusi dan percepatan belajar atau akselerasi, dari proyeksi jumlah anak berkebutuhan khusus  10% dari jumlah anak usia sekolah. Dengan adanya fakta data tersebut menggambarkan adanya berbagai permasalahan tentang pendidikan anak berkebutuahan khusus, baik permasalahan tersebut datang dari masyarakat, pemerintah maupun penyandang berkebutuahan khusus dan keluarganya. Selama cara
pandang terhadap anak berkebutuhan khusus, masih negatif maka pemenuhan hak anak berkebutuhan khusus juga belum dapat memperoleh hak yang sama dengan masyarakat lainnya. Persamaan hak sebenarnya telah diatur dengan berbagai perangkat perundangan formal, tetapi permasalahannya tidak adanya sangsi yang
jelas terhadap pelanggaran peraturan yang ada, sehingga masih banyak anak-anak berkebutuhan khusus yang belum memperoleh haknya. Contoh sebuah keluarga yang mempunyai anak cacat, bila ada sensus penduduk akan memberikan data yang tidak benar yaitu menyatakan bahwa keluarganya tidak ada yang cacat, karena kecacatan dianggapnya sebagai sesutu yang memalukan atau aib keluarga. Sebenarnya keluarga tersebut telah melanggar hak akan keberadaan anak cacat itu sendiri. 

Landasan Yuridis Formal
Hak-hak yang dimiliki anak berkebutuhan khusus berdasar pada landasan yuridis
formal meliputi:
1.   UUD 1945 (Amandemen)
pasal 31
ayat (1) : “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”
ayat (2) : “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”

2.  UU No. 20 tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional :
Pasal 3
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang  bermartabat dalam dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, Berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
 

Pasal 5
Ayat: (1): Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu
ayat (2): Warga negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus
ayat (3) : Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus
ayat (4) : Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.

Pasal 32
ayat (1): Pendidikan khusus merupakan merupakan pendidikan bagi peserta peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental,  sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
Ayat (2): Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang,  masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana  sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.

2.  UU No. 23 tahun tahun 2002 tentang Perlindungan Perlindungan Anak 
Pasal 48
Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak.

Pasal 49
Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan.

Pasal 50
Pendidikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 48 diarahkan pada :
a. Pengembangan sikap dan kemampuan kepribadian anak, bakat,  kemampuan  mental dan fisik sampai mencapai potensi mereka yang optimal.
b.  Pengembangan penghormatan atas hak asasi manusia dan kebebasan  asasi;
c. Pengembangan rasa hormat terhadap orang tua, identitas budaya, bahasa dan  nilai-nilainya sendiri, nilai-nilai nasional dimana anak bertempat tinggal, dari mana anak berasal, dan peradabanperadaban yang berbeda-beda dari peradaban sendiri;
d. Persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggungjawab; dan
e. Pengembangan rasa hormat dan cinta terhadap lingkungan hidup.

Pasal 51
Anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikan kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.

Pasal 52
Anak yang memiliki keunggulan diberikan kesempatan dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan khusus.

Pasal 53
1. Pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan biaya pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari keluarga kurang mampu, anak terlantar, dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil.
2.  Pertanggungjawaban pemerintah sebagaiman dimaksud dalam ayat (1) termasuk pula mendorong masyarakat untuk berperan aktif.

3.  UU No. 4 1997 tentang Penyandang Cacat
Pasal (5 )
“ Setiap penyandang cacat mempunyai dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan”.

4. Deklarasi Bandung (Nasional) “ Indonesia Menuju Pendidikan Inklusif ” 8-14 Agustus 2004
a. Menjamin setiap anak berkelainan  dan anak berkebutuhan khusus lainnya mendapatkan kesempatan akses dalam segala aspek kehidupan, , baik dalam bidang pendidikan, kesehatan sosial, ,kesejahteraan, keamanan, maupun bidang lainnya, sehingga menjadi generasi generasi penerus yang handal.
b. Menjamin setiap anak berkelainan dan anak anak berkebutuhan berkebutuhan khusus lainnya lainnya sebagai individu yang bermartabat, untuk mendapatkan perlakuan yang manusiawi, pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan potensi dan kebutuhan masyarakat, tanpa perlakuan diskriminatif yang merugikan eksistensi kehidupannya baik secara fisik, psikologis, ekonomis, sosiologis, hukum, politis maupun kultural
           Dari berbagai perangkat perundangan yang telah ada tersebut ternyata masih belum menyadarkan masyarakat dan pelaku pendidikan memberikan hak memperoleh pendidikan yang sama yang dimiliki anak berkebutuhan khusus. Pemerintah melalui departemen pendidikan nasional mngeluarkan himbauan yaitu surat edaran dirjen Dikdasmen yaitu: 
Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No.380/C.C6/MN/2003 20 Januari 2003 perihal Pendidikan inklusi: menyelenggarakan dan mengembangkan di setiap kabupaten/kota sekurang-kurangnya 4 (empat) sekolah yang terdiri dari : SD, SMP, SMA, SMK.